Kamis, 03 Maret 2011

Marhumah Daeng Ani Lamadjido IBU TELADAN YANG TERLUPAKAN DALAM KENANGAN

Oleh: Jamrin Abubakar BERPULANGNYA Hj. Marhumah Daeng Ani Lamadjido, Sabtu (26/2) di RS. Gading Pluit Jakarta, sebetulnya merupakan suatu kehilangan sosok seorang tokoh perempuan yang pernah dimiliki daerah Sulawesi Tengah. Keberadaannya tak bisa dipungkiri kalau Marhumah Daeng Ani memiliki peran penting sepanjang karier Abdul Azis Lamadjido sebagai suaminya. Mendampingi suami selama 58 tahun bukanlah waktu yang pendek, dan selama itu pula perempuan kelahiran Kota Donggala tahun 1933 telah mengabdikan separuh hidupnya untuk pembangunan Sulawesi Tengah. Perempuan melek pendidikan ini menyelesaikan sekolah dasar di kota kelahiran tahun 1950 yang kemudian meneruskan pendidikan SKP di Makassar hingga SMA. Mantan wartawan Mercusuar, Fredy Zainal Abidin dalam sebuah tulisannya (21 Oktober 1991), menggambarkan, Marhumah sulit mencari bandingannya sebagai pendamping suami dalam menjalankan tugas negara, mampu mengantar tujuh putra-putrinya menggapai masa depan. “Ia begitu sederhana tapi wawasan intelektual begitu melekat pada dirinya, meski ia sendiri bukan seorang yang berpendidikan sarjana. Sehingga perwujudannya dimanifestasikan kepada putra-putrinya yang semuanya menyelesaikan pendidikan formal tingkat sarjana,........” demikian Fredy menulis tentang sosok Marhumah ketika itu. Sebagai orang yang berpandangan maju, Marhumah memiliki banyak aktivitas saat remaja. Di antaranya pengurus Ikatan Persatuan pelajar Mahasiswa Kabupaten Donggala di Makassar dan aktif mengikuti pendidikan keterampilan kerajinan berupa menjahit, merangkai bunga, mengetik dan pelatihan perawatan keluarga. Semua itu menjadi tempaan yang kemudian menjadi bekal dalam aktifis organisasi, terutama pada saat mendampingu suami. Bagi sebagian anak-anak muda masa kini (termasuk aktivis yang selalu gencar menyuarakan tentang pemberdayaan perempuan), mungkin tidak begitu kenal dengan sosok Marhumah Dg Ani. Apalagi almarhumah selama satu dasawarsa lebih terakhir tidak pernah lagi tampil ke publik karena usia tua. Tapi bagi mereka yang sudah aktif di pemerintahan atau kegiatan sosial di Kota Palu sejak dekade 1970-an hingga awal 1990-an, pasti mengenal Marhumah Dg Ani yang era itu cukup memberi warna berbagai kegiatan sosial di masyarakat. Sebagai kenangan, secuil catatan penulis paparkan di sini buat pembaca. Sebab terlepas dari istri seorang pejabat penting, Marhumah tetaplah seorang yang pada masanya memiliki peran penting di Sulawesi Tengah dalam soal mendorong dan pemberdayaan kaum perempuan di bidang kerajina dan seni budaya, di antara yang menonjol dari sekian aktivitasnya. Sekali lagi, semata sebagai istri Abdul Azis Lamadjido tokoh birokrat dan politisi yang pernah menjadi Jaksa, Bupati Donggala dan Gubernur Sulteng dua periode, tapi Marhumah adalah sosok yang peduli pada kaumnya. Keluarga Sarjana Di tengah kesibukannya sebagai istri pejabat yang memiliki aktivitas di masyarakat, tetap memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Sebagai ibu yang menjadi motivator, ia buktikan sebagai ibu yang tegar dan jadi teladan, dengan sukses mendidik tujuh orang putra-putrinya menjadi sarjana. “Ibu itu meskipun sangat sibuk dengan berbagai kegiatan dalam organisasi sosial maupun Dahrmawanita dan mendampingi Bapak (Azis Lamadjido), perhatiannya pada anak-anak itu luar biasa. Pokoknya tugas pokoknya sebagai ibu tidak pernah dia lalaikan,” ungkap dr. Riry A. Lamadjido suatu ketika. Riri Lamadjido merupakan anak sulung yang berhasil menjadi dokter ahli spesial anak. Demikian pula adiknya Reny A Lamadjido juga meniti karier sebagai dokter yang kini menjabat Direktur RS Anutapura Palu. Riry sendiri pernah menjabat sebagai Direktur RSU Undata Palu. Sedangkan seorang lagi anak perempuannya bergelar doktoranda (dra) Remy Azmarny. Dari empat putranya, seorang yang jadi sarjana hukum yaitu Ruly A. Lamadjido (mantan Walikota Palu/Wakil Gubernur). Sedangkan tiga lainnya bergelar insinyur. Yaitu Rendy A. Lamadjido (anggota DPR RI), Safruddin A. Lamdjido mantan Kepala Cabang PLN Palu dan Burhanuddin Lamadjido yang akrab disapa Robby yang pernah mendpat beasiswa untuk studi ke Amerika. Dalam latar belakang sosial keluarga Marhumah adalah dari kaum bangsawan asal Makassar sebagaimana pernah diutarakan Masyhuddin Masyhuda (almarhum) pada penulis. Namun ia termasuk orang yang sangat moderat dan memiliki keterbukaan dalam soal menerima lamaran Abdul Azis Lamadjido di Makasaar pada masanya. Padahal pada masa itu (50-an hingga 70-an) masih ada anggapan sebagian orangtua di Makassar yang menganggap orang-orang dari Palu (Kaili) itu bagian dari orang Toraja, sehingga tidak mau mengawinkan anaknya. “Di antara seangkatan kami yang kuliah di Makassar dan berhasil melaksanakan perkawinan dengan orang Makassar, ya itu Pak Azis Lamadjido dengan Marhumah Dg Ani. Karena Marhuma itu merupakan orang yang tegas dan berpendirian dan keduanya bertekad,” kata Masyhuddin suatu ketika. Itu hanyalah sedikit gambaran romantisme pada Marhumah. Romantisme itu kadang pula ada yang mengamsalkan pasangan Abdul Azis Lamadjido-Marhuma Dg Ani yang awet dan serasi itu bagai Soeharto-Ibu Tien Soeharto. Namun yang menarik diutarakan, walau tidak begitu banyak yang penulis ketahui, tapi setidaknya dari kesaksian penuis pada masanya, dari berbagai peran dan aktivitas yang pernah dijalani Marhumah. Patut menjadi kenangan dan patut diketahui generasi masa kini, karena keteladananya kini terlupakan. Bidang kesenian Di bidang seni budaya, Marhumah Daeng Ani memiliki andil terutama mendorong dan memfasilitasi dalam mempopulerkan kesenian daerah Kaili. Sejumlah lagu ciptaan komponis Kaili Hasan Bahasyuan yang kemudian direkam di Makassar yang salah satu penyanyinya adalah Riry A. Lamadjido. Peran Marhumah yang berjiwa seni itu sebagai salah satu motivator yang kemudian darah seninya mengalir ke anak-anaknya. Demikian halnya mempopulerkan tenun Donggala di forum nasional lewat sejumlah pameran termasuk di TMII Jakarta, Daeng Ani sangat aktif. Sebaliknya memiliki perhatian khusus pada para perajin dengan melakukan pembinaan. Bahkan menurut cerita Ina Soho salah satu mantan perajin sarung Donggala di Kelurahan Tipo, Kecamatan Palu Barat pernah menceritakan pada penulis, Marhumah Daeng Ani sering membeli hasil kerajinannya tahun 1980-an. Bahkan ditukarkan dengan peralatan seperangkat alat musik kakula (gamelang). “Kebetulan selain jadi perajin sarung Donggala, saya juga pemain kakula namun suatu waktu alat saya sudah rusak, sehingga Ibu Azis Lamadjido (Marhumah) berinisiatif membelikan untuk kemudian ditukarkan dengan sarung,” cerita Ina Soho. Kecintaan di bidang seni kerajinan merupakan salah satu upaya memajukan kreativitas para perajin dengan membantu peralatan seperti yang dilakukan pada Ina Soho, tidak semata membayar dengan uang, melainkan saling membantu untuk terpenuhiya kebutuhan seniman maupun. Demikian sedikit kenangan terhadap Marhumah Dg Ani. Apa yang telah diperbuatnya, merupakan jasa-jasa yang tak ternilai, sekaligus menjadi ibadahnya. Almarhuma dimakamkan di Pekuburan Pogego, Palu, Ahad (27/2). Selamat jalan ibu teladan. (JAMRIN ABUBAKAR)