Murdan U. Marunduh
(Pemerhati Sejarah dan Budaya)
Pengantar
Tulisan ini sudah pernah disampaikan kepada sdr. Ir. Atripel Tumimomor sejak September 2016 yang lalu.
Pesta demokrasi telah usai, rakyat telah menentukan pilihannya dan kini tibalah saatnya untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pilihan rakyat tidak keliru, telah memilih pemimpin yang amanah, pemimpin yang melayani rakyat, dan secara bersama-sama membangun negeri membawa rakyat di daerah ini hidup lebih baik dibanding hari-hari yang lampau.
Singkatnya, dengan menjadi Kepala Daerah / Wkl Kepala Daerah, maka dalam menjalankan roda pemerintahan di daerahnya, sesungguhnya hanya mengarah atau fokus pada dua hal, yang pertama mewujudkan kesejahteraan rakyat dan, sejajar dengan yang pertama ialah menjaga persatuan dan kesatuan.
Dari pengamatan Penulis, seluruh kekayaan alam dan social capital yang ada di wilayah Morowali Utara, apabila dikelola dengan baik oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki integritas, mumpuni dan didukung oleh net work (jaringan kerja) yang handal dan selalu bersandar pada Tuntunan Tuhan Yang Maha Kuasa, Insya Allah, terbuka peluang bagi teritori Morowali Utara, untuk menjadi daerah otonom yang maju dan terdepan di Kawasan Timur Indonesia. Oleh sebab itu, dipandang perlu Pemda membuka ruang partisipasi bagi SDM Mori diaspora yang mau berbagi pengetahuan dan pengalaman bagi kemajuan Wita Mori.
Sejalan dengan himbauan ini, dan dengan berbekal deposito memori yang masih ada, penulis perlu menyampaikan beberapa pokok pikiran yang kiranya pantas mendapat perhatian serius untuk ditindak lanjuti. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan deskripsi yang mendalam (holistic) tetapi dibatasi hanya kepada beberapa isu (tema) yang ditulis secara ringkas
Bila dirangkum, muatan tulisan ini sebagai berikut :
I.
Gambaran Umum
II.
Orang-orang Mori (To Mori)
III.
Asal usul nama Kolonodale
IV.
HUT kota Kolonodale
V.
Masyarakat Adat Wita Mori
VI.
Bahasa Mori, siapa peduli?
VII.
Kesimpulan dan Saran-saran
LUWUNO TAGAGI BATO NTEPO’ASA, HIO!
I.
Gambaran Umum
Secara geografis, lokasi pemukiman masyarakat Mori pada awalnya merupakan satu wilayah kerajaan yang sangat disegani pada zamannya. Sejak dahulu kala wilayah ini lazim dikenal sebagai Kerajaan Mori (Het Rijk Mori) yang berdiri sekitar tahun 1580. Kerajaan ini terletak di Pesisir Timur Laut pada silangan jazirah Tenggara dan jazirah Timur pulau Sulawesi. Bekas wilayah kerajaan ini sekarang telah menjadi wilayah otonomi baru, “Morowali Utara” dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.12 tanggal 15 Mei 2013 sebagai salah satu Kesatuan Pemerintahan Otonomi Provinsi Sulawesi Tengah.
Secara administratif, kabupaten ini membawahi sepuluh kecamatan yaitu : Kecamatan Petasia ibu kota Kolonodale, Kecamatan Petasia Timur di Bungintimbe, Kecamatan Petasia Barat di Tiu, Kecamatan Lembo di Beteleme, Kecamatan Lembo Raya di Petumbea, Kecamatan Mori Atas di Tomata, Kecamatan Mori Utara di Mayumba, Kecamatan Bungku Utara di Baturube, Kecamatan Mamo Salato di Tanasumpu dan Kecamatan Soyo Jaya di Lembah Sumara.1)
Kabupaten Morowali Utara berbatasan pada sebelah Utara dengan Kabupaten Tojo Una-una, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banggai dan Laut Banda, sebelah Selatan berbatasan dengan kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Posso. Letak wilayah kabupaten ini pada koordinat 120° 41’ 25” s.d 121° 3’ 907” Bujur Timur dan 0’ 16’ 035” s.d 02° 10’ 095” Bujur Selatan. 2)
Sebagaimana yang dijelaskan oleh dua orang peneliti, kakak beradik berkebangsaan Jerman, yang dikenal dengan nama Dr Paul Sarasin dan Dr Frizt Sarasin yang pada tahun 1896 melakukan perjalanan penelitian di daerah Celebes (Sulawesi), penjelajahan mana dimulai 5 Februari hingga 22 Maret 1896 dari suatu tempat yang bernama Ussu melintasi danau Matano dan danau Towuti dan selanjutnya masuk ke Teluk Tomori.
Dalam perjalanan tersebut, kedua peneliti ini sempat beraudensi dengan seorang penguasa yang bergelar Datu ri Tana3) sebagai tandingan dari Datu Luwu ke 27, Iskandar Opu Daeng Pali (1883-1901) 4) yang berdiam di Polopo. Sang penguasa baru tersebut, tak lain dan tak bukan ialah “Marunduh” yang artinya “Petir”5) yang tengah berkuasa sebagai Raja Mori XI yang memerintah tahun 1870-1907. Pertemuan dengan kedua peneliti terjadi pada minggu pertama di bulan Maret 1896. Semua hasil penelitian di Celebes dari dua bersaudara ini kemudian dibukukan dalam dua jilid buku yang diberi judul : Reisen in Celebes. 6)
Dari penjelajahan ini, wilayah yang didiami suku Mori memanjang dari Selatan ke Utara mulai dari danau Matano sampai ke muara sungai Laa di Teluk Tomori. Di sebelah Timur wilayah yang didiami orang-orang Mori dibatasi oleh gunung Tambayoli dan gunung Tambusisi, 7) sebelah barat berbatasan dengan pegunungan Pakambia, tidak jauh dari hulu sungai Walati yang memisahkan wilayah yang didiami oleh suku-suku berbahasa Pamoa dan pada bagian Selatan dibatasi oleh Teluk Tomori.
Wilayah yang didiami oleh orang-orang Mori ini terdiri dari tebaran gunung-gemunung yang tidak begitu tinggi seperti Keulere, Tambayoli, Ponteoa dan beberapa yang lain. Diantara gunung-gemunung yang bertebaran, terdapat dataran-dataran tinggi, dataran rendah dan rawa-rawa. Alberth C. Kruyt dalam bukunya Het Rijk van Mori (Kerajaan Mori) menyebutkan tanah tinggi Mori ini tertutup sebelah Utara oleh pinggiran pegunungan dimana terdapat beberapa kampung orang Mori. Dari sini kita menurun secara tajam kesuatu tanah padang yang luas, banyak bukit yang membuat padang itu seperti bergelombang disana sini disela oleh jalur pepohonan yang rendah.
II.
Orang-orang Mori (To Mori)
Penduduk yang mendiami bagian dalam Teluk Tomori mengindentifikasikan diri mereka sebagai orang-orang Mori (To Mori) atau lebih sohor sebagai suku Mori. Karena proses perjalanan sejarah yang panjang, orang-orang Mori hidup terpisah-pisah dalam komunitas-komunitas setempat, hal ini telah membuat perbedaan dialek berdasarkan komunitas lokasi setempat. Namun sekalipun terdapat beberapa perbedaan dialek, tetapi masih jauh lebih banyak faktor kesamaan diantara dialek yang ada, dan semuanya masih merupakan bahasa Mori.
Dari penelitian terhadap bahasa Mori yang dilakukan oleh Dr Samuel J. Esser dalam bukunya : Klanken Vormleer van Het Morisch (1927), bahasa Mori dapat dibagi atas empat kelompok dialek utama yaitu :
1.
dialek Mokole (Tinompo. Istilah Mokole bearti penguasa (raja) atau keluarga dari keturunan raja, digunakan untuk berkomunikasi dengan rakyat)
2.
dialaek Watu-Karunsi’e
3.
dialek Mori Atas
4.
dialek Pado’e. 8)
Sejarah orang-orang Mori yang terbentang dalam kurun waktu yang sangat panjang mengindikasikan bahwa nenek moyang orang-orang Mori kemungkinan besar berasal dari kawasan lain di luar Mori (luar Sulawesi Tengah), mereka datang dari seberang lautan.
Bila kita hendak memasuki Kolonodale dari arah laut, maka kita akan menemui satu tempat yang dinamai Tapo Hulu atau Goa Telapak Tangan Kiri dan Goa Telapak Tangan Kanan serta adanya penemuan tulang belulang manusia purba di goa batu putih.
Adanya Goa Telapak Tangan Kiri dan Goa Telapak Tangan Kanan ini mengindikasikan bahwa daerah wilayah pesisir Mori (teluk Tomori) telah didatangi oleh para pendatang dari seberang lautan. Para pendatang ini masuk ke wilayah Mori melalui laut yang diperkirakan tiba antara 10.000 – 5.000 tahun sebelum Masehi. Periode ini dinamai zaman Mesolitikum atau zaman batu madya. Hal ini ditandai berupa cap telapak tangan yang ditempatkan pada dinding goa, lukisan yang dibuat di goa atau dalam bentuk hiasan atau ornament.
Berdasarkan penemuan di atas, dapat diperkirakan bahwa nenek moyang orang-orang Mori kemungkinan besar berasal dari dua tempat yang berbeda nun jauh di seberang lautan yaitu:
1.
Kemungkinan pertama, mereka berasal dari suatu daerah di Philipina Selatan. Penilaian ini berdasarkan tinjauan dari aspek bahasa. Bahasa Mori berkerabat dengan bahasa Bungku-Lolaki. Masuk dalam kelompok ini ialah bahasa Menui, Kolaka, Kendari, Kabaena (Kabupaten Muna) yang ternyata masih serumpun dengan bahasa-bahasa di Philipina Selatan.9)
2.
Kemungkinan kedua, nenek moyang orang-orang Mori berasal dari gelombang pertama migrasi yang mendukung kebudayaan Megalith yang oleh Dr A. C. Kruyt disebut kebudayaan De Steenhouwers (pemecah batu). Penduduk ini diperkirakan datang dari arah utara diduga berasal dari salah satu kepulauan di Jepang. Mereka masuk Sulawesi melalui Minahasa, menyusuri daratan melalui Gorontalo, melayari Teluk Tomini hingga akhirnya sampai ke Sulawesi Tengah10) dan selanjutnya masuk dan menetap di wilayah Mori.
Kemungkinan pertama dan kedua ini perlu mendapat perhatian, karena sebagaimana yang ditulis oleh Alfred R. Wallace (1823-1913) yang terkenal dengan teori “Garis Wallace” adalah sosok yang pertama kali menemukan ras Tomori di pulau Bacan (sekarang Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara).
Antara bulan Oktober 1858 hingga April 1859, Wallace tiba di pulau Bacan sebagaimana laporannya, Bacan dikatakan tidak mempunyai penduduk asli. Di pulau ini ditemui empat golongan (ras) penduduk yang memiliki ciri-ciri tersendiri. Mereka ini adalah, pertama, orang Melayu Bacan, kedua, orang Sirani, ketiga, orang Galela dari Utara Gilolo dan ras ke empat adalah To Mori yang berasal dari semenanjung Timur Sulawesi. Mereka berkulit putih, mempunyai paras muka orang “Tartar”, berperawakan pendek dan memiliki bahasa yang termasuk rumpun bahasa Bugis. Pakaian mereka terbuat dari kulit kayu, sama dengan kain tapa orang Polinesia.11) Ke empat ras inilah yang kemudian menjadi penduduk asli pulau Bacan.
Demikian pula halnya dengan penemuan J. Kruyt yang melaporkan : Di bagian Timur dari Sulawesi Tengah menetaplah satu suku yang jelas berbeda sekali dengan suku Toraja Bare’e. Perbedaan ini tampak lewat bahasa dan penampilan fisik. Untuk mudahnya, kita menyebut mereka suku Mori atau To Mori.12)
Berdasarkan pemaparan diatas, maka bila diamati secara seksama, ada beberapa keunikan dari “Orang Mori Asli”, asli dalam pengertian tanpa campuran ras dari ras Pamona, Manado, Tionghoa, Bugis, Jawa, Batak dan lain-lain, dalam bentuk fisik/postur tubuh, wajah, gerak, pola pikir, pola rasa dan pola tutur. Dalam bahasa Mori ada ditemui suku kata yang sama/ada kemiripan dengan bahasa Jepang, misalnya : aiwa, honda/mehonda, kitao, omami, tetadi, luwuno, tekewoi dan tolino. Bahkan di Jepang saat ini bisa ditemui satu marga terkenal marga “Mori”. Di kota metropolitan Tokyo tidak jauh dari Tokyo Tower bisa dilihat sebuah gedung jangkung menohok langit yang diberi nama “Mori building” penulis bersama isteri menyempatkan waktu untuk mengunjungi gedung ini pada Maret 2012 yang lalu.
III.
Asal usul nama Kolonodale
Rasanya kita juga perlu tahu sejarah maupun asal usul nama kota tempat kelahiran kita. Dengan begitu, kita mengenali, menghargai, mencintai dan sangat merasa bangga dengan kota kelahiran meskipun barangkali karena pekerjaan, perkawinan atau karena sebab-sebab lain harus tinggal atau menetap ditempat yang jauh dari kota kelahiran kita.
Tidak semua orang tahu dan hafal sejarah kota tempat kelahirannya, termasuk sejarah dan asal muasal nama ibu kota Kebupaten Morowali Utara : Kolonodale. Padahal dengan mengetahui sejarah kotanya, sangatlah penting untuk dijadikan acuan dalam hal pembangunan dan penataan kota. Bung Karno merasa perlu mengingatkan kita semua : “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (Jasmerah), termasuk sejarah kota Kolonodale tempat kita dilahirkan, dibesarkan, berdomisili atau bekerja. Kota yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten, perdagangan, pendidikan, kebudayaan dan pariwisata.
Wajah kota Kolonodale akan terus berubah seiring perkembangan zaman, tetapi riwayat dan asal usulnya tak akan pernah berganti, akan terus abadi. Ada nama kota yang mungkin berasal dari suatu kejadian luar biasa di zaman dahulu kala atau bahkan berasal dari bahasa yang dipakai oleh para pendatang untuk menamai suatu lokasi atau tempat yang melekat hingga saat ini. Semua nama yang terpateri hingga saat ini, tentunya telah melewati perjalanan waktu yang sangat panjang, tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas yang pada akhirnya melekat menjadi sebuah nama kota.
Kolonodale misalnya. Dari penelusuran yang penulis lakukan, ditemui hal-hal menarik terkait nama kota Kolonodale. Konon, nama Kolonodale berasal dari empat sumber yang tentunya masih memerlukan kajian ilmiah lebih lanjut. Sumber pertama, nama Kolonodale berasal dari bahasa Belanda, sumber kedua berasal dari bahasa Mori, sumber ketiga berasal dari bahasa Bugis dan sumber keempat dari bahasa Lolaki
Sebagaimana diketahui, negeri Mori memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam mulai dari pantai, hutan mangrove, hutan alluvial, dataran rendah dan hutan rawa, hutan pegunungan maupun hutan lumut. Tidak mengherankan bila pada abad XV daerah Mori sudah dikunjungi oleh bangsa asing untuk melakukan penelitian dan perdagangan.
Sumber pertama. Demi kepentingan ambisi penaklukan wilayah, khususnya rencana penaklukan Kerajaan Mori oleh pemerintah kolonial Belanda, maka untuk keperluan operasi militer, Belanda melakukan ekspedisi penelitian dan pemetaan kedalaman laut di Teluk di Teluk Tomori dan Teluk Tolo hingga menyusuri sungai Laa tahun 1850. Ekspedisi penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, pertama tahun 1850 dipimpin oleh Letnan Laut Jhr13) L.H.W de Stuers. Hasil penelitian ini kemudian dituangkan dalam laporan yang berjudul : Algemeene Kaart h.h terrain der krij gs verrichtingen ter oostkust v.h eiland Celebes14). Ekspedisi penelitian kedua antara Desember 1852 sampai dengan Januari 1853 dan sebagai pimpinan ekspedisi oleh Laksamana Muda K.W.J Baarta de la Faille dengan anggota Letnan Laut A. van Kerkwijk dan Letnan Laut G.F Servatius.
Karena penelitian dilaksanakan di Teluk Tomori, maka sesuatu yang masuk akal bila tim ini kemudian menemukan suatu lokasi yang cocok untuk membangun bivak sebagai tempat pemantauan dan koordinasi penelitian lapangan. Tempat yang diketemukan ini masih berupa desa nelayan yang didominasi oleh hutan belukar namun sangat cocok untuk membangun kemah. Tempat ini dikitari oleh perbukitan sehingga lokasi ini berada di lembah. Oleh orang Belanda tempat ini diberi nama Kolonie Dal yang bermakna Kolonie berarti pemukiman dan Dal berarti lembah. Seiring dengan perjalanan waktu, dua suku kata Kolonie dan Dal dijadikan satu suku kata menjadi Koloniedal kemudian berubah menjadi Kolonedale dan pada akhirnya menjadi Kolonodale. Perubahan penyebutan ini terjadi karena lidah orang-orang Mori agar sukar untuk menyebut Koloniedal, mereka lebih familiar melafazkannya dengan Kolonodale.
Sumber kedua, nama Kolonodale berasal dari asli bahasa Mori. Menurut A.K Tumakaka, nama Kolonodale berasal dari kata Kolono yang berarti teluk dan dale, adalah sejenis tumbuhan berumpun yang mempunyai buah berbiji (osole ngkukua) dimana bijinya digunakan sebagai manik-manik untuk perhiasan di leher anak perempuan. Osole ngkukua ini tidak dimakan.
Sumber ketiga, nama Kolonodale konon berasal dari bahasa Bugis yang diperkenalkan oleh orang-orang Bugis asal Balanipa15). Kolono berarti teluk dan dale bermakna mujur, dan sumber keempat berasal dari bahasa Lolaki. Kolono berarti teluk dan dale yang artinya rejeki.
IV.
HUT KOTA KOLONODALE
Perjanjian Wawombau
Dengan takluknya kerajaan-kerajaan di pantai Timur dan Barat Sulawesi Tengah kepada Belanda, kini tibalah saatnya bagi Gubernemen di Makassar untuk mengarahkan perhatiannya menyusun kekuatan dan strategi penaklukan kerajaan Mori. Untuk maksud tersebut, didahului dengan pengiriman misi perdamaian masing-masing :
1.
Misi damai Dr Paul dan Dr Fritz Sarasin tahun 1896,
2.
Misi damai Dr A.C Kruyt dan Dr N. Adriani tahun 1899,
Misi damai yang diemban oleh Dr. A.C Kruyt dan Dr N. Adriani menemui jalan buntu. Raja Marunduh Datu ri Tana secara tegas dan terang-terangan menolak ajakan Kruyt dan Adriani untuk menerima misi damai pemerintah Belanda. Malahan Kruyt dan Adriani sempat dikejar oleh Tadulako Ladadena untuk dibunuh atas perintah Raja Mori Marunduh Datu ri Tana.
3.
Misi damai Residen Horst dari Ternate tahun 1902, dan
4.
Misi damai Asisten Residen Engelenberg bersama seorang Posthouder16) yang bertugas di Banggai bernama F.R Maengkom pada 12 April 1906.
Engelenberg sebelumnya adalah Kontrolir di Posso, kemudian diangkat menjadi Asisten Residen di Donggala.
Asisten Residen Engelenberg, terlebih dahulu mengirim Haji Bestu, sebagai utusan pemerintah Kolonial Belanda untuk menemui Raja Mori Marunduh Datu ri Tana guna menyampaikan undangan pertemuan, sekaligus memohon kesediaan raja untuk hadir dalam acara tersebut. Raja Mori Marunduh Datu ri Tana secara tegas menolak hadir dalam pertemuan itu. Namun demikian, Posthouder F.R Maengkom berhasil menemui Raja Mori dan melakukan pembicaraan serius bertempat di Lobo, balai pertemuan kerajaan pada 20 April 1906.
Untuk menindak lanjuti hasil pertemuan dengan Raja Mori tanggal 20 April 1906, maka dikirimkanlah kontrolir Posso H.J Voskuil dengan didampingi penerjemah bernama Nayoan disertai satu peleton pasukan Marsose sebagai pengawal ketika mengadakan perundingan dengan Raja Mori Marunduh Datu ri Tana di desa Wawombau.
Delegasi Kerajaan Mori yang menghadiri perundingan itu ialah Raja Mori XI Marunduh Datu ri Tana sebagai pimpinan delegasi, Mokole Ede Alala Kamesi, Karua Moiki, Bali Pandu’u dan Kalapa, Bonto Pondelu Tumakaka, Malatundu, Panta (mia mota’u To Pada), Bagonda (mia Mota’u To Wanga), Manggede (mia Mota’u To Kalae) dan Manyonyo (mia Mota’u To Pakambia).
Perjanjian Wawombau17) yang berlangsung pada 17 November 1906 telah menghasilkan beberapa kesepakatan penting antara lain :
1.
Pemerintah Hindia Belanda diizinkan untuk mendirikan kantor perwakilannya di Kolonodale18)
2.
Pemerintah Kerajaan Mori bersedia membantu pembuatan jalan raya untuk menghubungkan kampung-kampung sehingga memudahkan transportasi perhubungan antar kampung.
3.
Berdasarkan pertimbangan kesehatan tempat pemukiman penduduk disetiap kampung akan ditata dan diatur dengan baik.
4.
Kesepakatan perdamaian yang abadi antara pemerintah Kerajaan Mori dengan daerah palilinya di wilayah Mori Atas.
5.
Para mia Mota’u di Mori Atas menyatakan kesetiaan dan ketaatan mereka kepada penguasa Kerajaan Mori dan mereka bersedia menghantar upeti seperti yang lazim dilaksanakan.
6.
Batas-batas wilayah kerajaan Mori disepakati mulai dari Bahombelu menyeberang Teluk Tolo sampai Tando Posso (Tanjung Posso) lalu kehulu sungai Tiworo, kehulu sungai Morowali menuju pegunungan Pampangeo ke Langgadopi, menuju hulu sungai Walati ke danau Toju hulu sungai Masewe, ke pegunungan Tokelakaju lalu ke danau Matano, ke Taipa, ke Soroako lalu mengikuti sungai Karaupa lalu ke pantai Pebotoa dan kembali menuju Bahombelu.
7.
Keempat suku yang berbahasa Posso yang mendiami Mori Atas yaitu To Pada, To Wanga, To Kalae dan To Pakambia harus tunduk dan taat kepada kekuasaan Mokole Marunduh Datu ri Tana dan diwajibkan membayar upeti seperti biasa.
Sejak ditanda tanganinya oleh kedua belah pihak Perjanjian Wawombau, maka pekerjaan pertama yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda ialah mereklamasi laut dimulai dari daerah pelabuhan sampai ke Baho’ue sekarang. Sebagai hasil reklamasi pantai, diperoleh tambahan daratan yang cukup luas yang saat ini telah berdiri pelabuhan, pasar sentral, lapangan upacara, perumahan Pemda, pertokoan, tangsi militer, rumah sakit, dan kawasan Bahontula bawah sampai kawasan Baho’ue19).
Komperensi Donggala Oktober 1906 di dihadiri oleh semua raja dari kerajaan-kerajaan dari kawasan Timur dan Barat Sulawesi Tengah yang sudah lebih dahulu ditaklukan oleh Belanda, kecuali Kerajaan Mori yang merdeka dan berdaulat penuh menolak hadir. Ketidak hadiran ini, telah membuka babak baru perseteruan antara Raja Mori XI Marunduh Datu ri Tana berhadapan dengan ambisi penaklukan pemerintah kolonial Belanda di Afdeling Sulawesi Tengah.
Usai ditanda tanganinya Perjanjian Wawombau, maka sebagai persiapan penggabungan Lanschap-lanschap Mori, Bungku dan Banggai yang akan ditempatkan dibawah pengawasan Residen Baubau, dikirimlah satu peleton infantrie ke Kolonodale dengan tugas untuk melakukan patroli dalam rangka perluasan pengawasan Gubernemen serta mempersiapkan pembangunan markas tentara di Kolonodale. Perlakuan tentara Kompeni Belanda terhadap rakyat Mori yang sangat tidak manusiawi, khususnya ketika pembuatan jalan raya dari Matandau ke Lowo, yang harus dikerjakan oleh rakyat dengan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana, membuat Raja Mori sangat marah dan geram atas perlakuan tentara Kompeni terhadap rakyat Mori.
Kejadian-kejadian ini kemudian menjadi pemicu timbulnya Perang Mori II atau lazim dikenal sebagai Perang Wulanderi, Juli-Agustus 190720). Diawali dengan penyergapan satuan patroli tentara Belanda di Matandau tanggal 19 Juli 1907 dan penyergapan di Renaitole pada 21 Juli 1907. Korban yang tewas dikedua tempat tersebut secara rinci sebagai berikut : 2 orang perwira masing-masing Lettu H.W Matthes dan Letda B.E Kies, 2 orang Sersan, 1 orang Kopral, 8 orang prajurit berkebangsaan Eropa, 21 prajurit Bumiputera dan 10 orang strapan.
Jumlah keseluruhan korban 44 (empat puluh empat) orang yang tewas secara mengenaskan dengan rincian: 34 orang anggota KNIL (Marsose) dan 10 orang strapan. Selain korban jiwa, tentara Belanda juga kehilangan 28 pucuk senjata Karabin M95 dan banyak amunisi.
Untuk mengenang para serdadu Belanda yang tewas dalam dua penyergapan tersebut, pemerintah kolonial Belanda kemudian mendirikan “Monumen Kolonodale” yang dikenal sebagai Memento Mori dikalangan para sejarawan militer Belanda. Monument sejenis ini, konon, hanya ada lima di Indonesia dan satu-satunya di Sulawesi Tengah yang ada di Kolonodale.
Monument peringatan tewasnya para serdadu KNIL tersebut sebagai bukti adanya perlawanan seluruh rakyat Kerajaan Mori yang dipimpin oleh Mokole Marunduh Datu ri Tana Raja Mori XI melawan agresor Belanda.
V.
Masyarakat Adat Wita Mori
Di Indonesia, masyarakat adat masih terus menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial. Sebagaimana yang terjadi diseluruh dunia, perjuangan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat adat maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan memajukan hak-hak asasi Masyarakat Adat masih terus berlangsung.
Cukup banyak hasil positif yang diperoleh dari perjuangan ini diberbagai daerah di Indonesia, tetapi masih lebih banyak lagi daerah yang belum menunjukkan perobahan kearah yang lebih baik. Demikian juga perobahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak Masyarakat Adat. Sebagian kebijakan sektoral lainnya masih tetap menegasikan keberadaan hak-hak Masyarakat Adat ini sebagai hal asal usul yang masih hidup dalam masyarakat, khususnya yang menyangkut hak atas tanah, wilayah, adat dan sumber daya alam.
Dalam kaitan ini maka, pengesahan (adopsi) Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang Hak-hak Masyarakat Adat bukan hanya penting bagi Masyarakat Adat tetapi sekaligus juga membantu Pemerintah Indonesia dalam mengisi kekosongan kerangka hukum nasional terkait dengan hak azasi Masyarakat Adat.
Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat disahkan dalam Sidang Umum PBB di New York pada tanggal 13 September 2007 dengan suara mendukung 144 negara, abstain 11 negara, tidak mendukung 4 negara (yaitu Kanada, AS, Australia dan Selandia Baru) serta tidak hadir 30 negara. Indonesia adalah salah satu Negara anggota PBB yang konsisten memberikan suara mendukung dan ikut menjadi penanda tangan dalam pengesahan Deklarasi di Sidang Dewan HAM dan Sidang Umum PBB.
Sebagai salah satu standar minimum Internasional untuk perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM Masyarakat Adat, Deklarasi ini memberikan penegasan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak kolektif antara lain yang terpenting, adalah hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual, hak atas prinsip “Free, Prior and Informed Consent” (FPIC)21) dan hak atas penentukan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka.
Kutipan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat khusus pasal 23 dan pasal 3222) sebagai berikut :
Article 23
Indigenous peoples have the right to determine and develop priorities and strategies for exercising their rights to development. In Pasticular, indigenous peoples have the right to be actively involved in developing and determining health, housing and other economic and social programmes affecting them and, as far as possible, to administer such programmes through their own institutuions.
Pasal 23
Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk melaksanakan hak-hak mereka atas pembangunan. Secara khusus, masyarakat adat memiliki hak untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan dan menentukan program-program kesehatan, perumahan dan program-program sosial ekonomi lainnya yang berdampak pada mereka, dan sedapat mungkin mengelola program-program tersebut melalui lembaga-lembaga mereka sendiri.
Article 32
1.
Indigenous peoples have the rights to determine and develop priorities and strategies for the development or use of their land or territories and other resources.
2.
State shall consult and cooperate in good faith with the indigenous peoples concerned through their own representative institutions in order to obtain their free and informed consent prior to the approval of any project affecting their lands or territories and other resources, particularly in connection with the development, utilization or exploitation of mineral, water or other resources.
3.
State shall provide effective mechanisms for just and fair redress for any such activities, and approriate measures shall be taken to mitigate adverse environmental, economic, social, cultural or spiritual impact.
Pasal 32
1.
Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan atau penggunaan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya lainnya.
2.
Negara akan berkonsultasi dan bekerjasama dalam itikad baik dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri supaya mereka dapat mencapai persetujuan yang bebas, diutamakan, diinformasikan dan tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh pada tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan, pemanfaatan eksploitasi atas mineral, air dan sumber daya lainnya.
3.
Negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk ganti kerugian yang adil dan pantas untuk aktifitas semacam itu, dan langkah-langkah yang tepat akan diambil untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya atau spiritual.
Apa itu Prinsip Free, Prior and Informed Consent?
Prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) adalah prinsip yang menegaskan adanya hak masyarakat adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada wilayah mereka. Secara lebih rinci dapat dirumuskan sebagai: “hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (Informed) sebelum (Prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (Free) menyatakan setuju (Consent) atau menolak atau dengan kata lain sebuah hak masyarakat (adat) untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam wilayah adat mereka.”
Itu berarti pengakuan terhadap hak masyarakat untuk mengatakan ‘Ya!’, atau ‘Tidak!’
Artinya, pihak atau orang luar, yang hendak masuk ke dalam wilayah-wilayah masyarakat adat, harus berurusan dengan mereka sebagai pemilik yang sah, karena masyarakat dikaruniai dengan hak, dengan kewenangan yang jelas atas seluruh wilayah adat mereka. Itu berarti pula menghargai sistem pengambilan keputusan masyarakat adat dan menghormati tata aturan adat dalam menentukan perwakilannya.
Itu berarti juga bahwa jika pihak atau orang luar mau masuk ke dalam wilayah-wilayah masyarakat adat, mereka harus menjelaskan apa yang hendak mereka lakukan, dan berunding dengan masyarakat bersangkutan, mengingat bahwa masyarakat bisa setuju ataupun tidak setuju terhadap apa yang diusulkan.
Free atau ‘Bebas’ – keputusan-keputusan hendaknya dicapai melalui proses-proses yang saling menghargai tanpa kekerasan, tekanan, gertakan, ancaman dan penyuapan. Tidak boleh ada rekayasa terhadap hasil perundingan.
Prior atau ‘Mendahului’ – perundingan-perundingan seharusnya dilakukan sebelum pemerintah, para pemodal dan perusahaan-perusahaan memutuskan rencana yang hendak dikerjakan. Itu berarti perundingan-perundingan harus terlebih dahulu dilakukan dengan masyarakat sebelum bulldozer datang dan sebelum para tukang survei dan penilai datang untuk mengukur dan melihat-lihat sekitar tanah-tanah masyarakat adat.
Informed atau ‘Diinformasikan’ – pihak atau orang luar harus memberikan semua informasi yang mereka miliki kepada masyarakat, terkait dengan kegiatan yang direncanakan, dalam bentuk-bentuk dan bahasa yang dapat dipahami masyarakat. Itu berarti memberikan waktu kepada komunitas untuk membaca, menilai dan membicarakan keterangan ini. Itu berarti memerlukan waktu untuk mengumpulkan semua keterangan yang terkait, dengan partisipasi semua orang jika mereka mau, sehingga orang tahu apa implikasi dan usulan rencana kegiatan tersebut.
Consent atau ‘Persetujuan’ – meski dalam bahasa Inggris kata consent memiliki makna ‘persetujuan’ namun makna istilah ini dalam FPIC adalah ‘keputusan’. Apapun keputusan atau kesepakatan yang dicapai harus dibuat melalui sebuah proses terbuka dan bertahap yang menghargai hukum adat dan otoritas yang dianut oleh mereka sendiri. Itu berarti mengakhiri pola pembuatan berbagai keputusan oleh seorang ‘tokoh’ masyarakat yang dipaksakan tanpa merujuk kepada aspirasi anggota komunitas. Dengan demikian, maka hukum adat yang dimaksud adalah hukum adat yang merupakan kesepakatan seluruh anggota komunitas, menjadi aturan yang hidup di tengah komunitas, diketahui, dihormati dan ditaati oleh komunitas. Itu berarti keadilan bagi masyarakat adat!
Dengan pengertian seperti itu, maka padanan frasa Free, Prior. Informed Consent dalam Bahasa Indonesia mengandung pengertian: Sejak dini atas dasar informasi yang lengkap dan benar, masyarakat berhak mengambil keputusan untuk menyatakan YA atau TIDAK berdasarkan kesepakatan yang dibangun di antara mereka. Pengertian tersebut dapat dipersingkat menjadi SENI ADIL Bersepakat, yang merupakan akronim dan SEjak diNI Atas Dasar Informasi yang Lengkap dan Benar, Bebas bersepakat.
Rujukan-rujukan dalam Hukum Nasional
Indonesia telah pula meratifikasi:
•
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi dengan UU No. 12 tahun 2005.
•
Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diratifikasi dengan UU No. 11 tahun 2005.
•
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang diratifikasi dengan UU No. 29 tahun 1999.
•
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, yang diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1994.
Indonesia juga telah mengadopsi Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan turut menyetujui Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Ratifikasi beberapa instrumen hukum internasional dan pengadopsian atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan penanda tanganan Deklarasi PBB tentang Hak-hak masyarakat Adat tersebut di atas berarti bahwa prinsip FPIC harus dihormati di Indonesia.
Aturan Hukum Nasional yang Memperkuat Hak-hak Masyarakat Adat:
•
Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) mengakui hak masyarakat adat sebagai komunitas yang memiliki pemerintahan asli.
•
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang mengakui hak-hak perorangan dan hak-hak kolektif masyarakat adat.
•
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjamin dan mengakui kewenangan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asal-usul atau adat-istiadat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Dalam hal ini Peraturan Daerah diwajibkan untuk menghormati dan mengakui hak asal-usul dan adat-istiadat desa, namun sekaligus juga menjadi salah satu simpul dalam administrasi pengakuan keberadaan masyarakat adat. Berdasarkan asas-asas hukum tersebut, sejumlah dewan perwakilan rakyat kabupaten telah mengeluarkan peraturan daerah yang mengakui wilayah, lembaga dan peraturan adat.
•
TAP MPR-R1 No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) yang memuat prinsip-prinsip tentang pelaksanaan PA-PSDA. Salah satu prinsipnya adalah mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam.
•
UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang mengakui hak-hak dan keberadaan masyarakat adat atas tanah.
•
Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1999 mengatur penyelesaian sengketa tanah ulayat.
•
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengatur peran serta masyarakat dalam sebuah bab khusus. Hak-hak yang dijamin antara lain adalah hak untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan; hak untuk mendapatkan informasi atau mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan berhak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
•
Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan semua peraturan dibawahnya yang khususnya berhubungan dengan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) mewajibkan untuk dilakukan studi sosial (untuk menganalisa dampak sosial) bagi pelaksana projek/perusahaan dan termasuk keterlibatan wakil masyarakat dalam komite penilai AMDAL di tingkat kabupaten dan propinsi. Undang-undang dan peraturan ini berlaku untuk semua kegiatan proyek baik sektor kehutanan, perkebunan maupun pertambangan. Dalam hal ini Hak untuk mendapatkan informasi, Hak mengajukan keberatan dan Hak untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup dijamin dalam undang-undang ini
•
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjamin hak-hak masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai tata ruang, hak untuk mengajukan keberatan, saran dan pendapat serta berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
•
Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menjamin dan mengakui hak ulayat masyarakat adat setempat.
•
UU No. 10 tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera menjamin hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat.
•
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga menekankan pentingnya penghormatan atas hak-hak masyarakat adat.
•
UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Menjadi pertanyaan sekarang bagaimana dengan Wita Mori ?
Sebagaimana diketahui, sampai akhir Desember 2015 yang lalu, Peraturan Daerah (Perda) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat telah terbentuk di 21 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Lantas, apa yang menjadi definisi dari Masyarakat Hukum Adat, Wilayah Adat dan Hukum Adat?
Mengutip definisi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tanggal 7 Juli 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai berikut : “Masyarakat Hukum Adat adalah warga negera Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun”.
Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hukum adat.
Hukum adat adalah seperangkat norma atau aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersumber pada nilai budaya bangsa Indonesia, yang diwariskan secara turun temurun, yang senantiasa ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, dan mempunyai akibat hukum atau sanksi.
Bila ditarik benang merahnya, maka “komunitas Masyarakat Adat adalah sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki system nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alam yang ada di dalamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat”.
Berdasarkan definisi tersebut, maka, komunitas masyarakat hukum adat Mori “berhak menuntut” kepada Pemerintah Daerah Morowali Utara untuk menetapkan wilayah adat masyarakat Mori sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Mendagri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Perangkat Hukum lainnya serta telah pula di implementasikan di 21 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Adapun masyarakat yang dapat ditetapkan sebagai wilayah adat berupa wilayah yang tidak ditujukan untuk kegiatan komersial, tetapi benar-benar wilayah yang dipergunakan untuk menghidupi komunitas pada masyarakat adat yang bersangkutan.
Penetapan wilayah adat memiliki tiga syarat utama yaitu: 1) ada anggota masyarakat, 2) memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas, dan 3) ada pranata sosial yang masih hidup/berlangsung. Pranata sosial bisa berupa kewenangan menjalankan hukum dan sanksi. Pada umumnya Hukum Adat tidak tertulis, namun saat ini dirasa sangat perlu dan mendesak agar dipertimbangkan Hukum Adat Wita Mori dijadikan tertulis.
Untuk itu, perlu didorong partisipasi politik masyarakat adat Wita Mori melalui Lembaga Dewan Adat Wita Mori yang telah dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 01/KongresWM/XI/2014 Tanggal 24 November 2014, juga ditanda tangani oleh Bupati Morowali Utara, agar mendesak Pemda menetapkan Perda guna perlindungan eksistensi masyarakat adat, termasuk masyarakat adat tradisional suku Wana (khususnya mereka yang berada dalam wilayah administratif Morowali Utara) yang saat ini ditaksir berjumlah 2.000 jiwa. Masyarakat tradisionil suku Wana tinggal di pedalaman di desa-desa Pasangke, Kayupoli, Uwewaju, Ratobae, Sangkoe dan Langada.
Perda ini harus menitik beratkan pada pemberdayaan dan penguatan hak-hak Masyarakat Adat karena selama ini hak-hak Masyarakat Adat dibanyak daerah terabaikan oleh para pengambil kebijakan dan Lembaga-lembaga Pemerintahan.
Perlindungan negara terhadap entitas Masyarakat Hukum Adat sudah diberikan melalui Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor: 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
VI.
Bahasa Mori, siapa peduli?
Bahasa Mori sebagaimana bahasa daerah lainnya di Indonesia merupakan identitas nilai sosial budaya yang menggambarkan azas penilaian, adat istiadat yang menjadi ciri khas yang melekat bagi seluruh masyarakat Mori. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa Mori sekaligus merupakan kekayaan budaya Nusantara yang menjadi aset nasional yang selalu harus dilestarikan, dijaga dan dipelihara sebagai warisan leluhur yang terus hidup.
Dalam seminar nasional bahasa daerah beberapa tahun lalu, ditetapkan kedudukan dan fungsi bahasa daerah sebagai berikut :
1.
menjadi lambang kebanggan daerah
2.
lambang identitas daerah
3.
sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Sementara itu dalam hubungan dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai :
1.
menjadi pendukung bahasa nasional
2.
sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar pada daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar mengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain.
3.
sebagai alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.
Bahasa-bahasa itu merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Sejalan dengan pernyataan diatas, maka pemerintah memberi perhatian dan pembinaan serta pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dituangkan dalam TAP MPR No:11/MPR/1993 butir F Tentang Kebudayaan agar pembinaan bahasa terus dilanjutkan dalam rangka pengembangan serta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia dan khasanah kebudayaan nasional sebagai salah satu jatidiri dan kepribadian bangsa.
Kepunahan bahasa daerah menjadi masalah serius yang perlu menjadi perhatian tidak saja bagi pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah dan seluruh masyarakat. Sebab proses kepunahan bahasa daerah akan diikuti dengan kepunahan budaya dan pada gilirannya bermuara kepada kepunahan jatidiri masyarakat. Padahal bahasa daerah adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari seluruh budaya, karena bahasa daerah ungkapan cari berpikir dan cara merasa suatu komunitas etnik. Untuk itu, upaya serius dalam menyelamatkan bahasa-bahasa daerah perlu dilakukan. Pada sisi lain dari 746 bahasa daerah di Indonesia, selama ini telah menjadi daya tarik masyarakat internasional untuk mempelajarinya.
Kepunahan bahasa daerah di Indonesia seperti terhimpun dalam Atlas of the World’s Languages in Danger of Disappearing (Stephen A. Wurm, 2001) yang diterbitkan UNESCO, menunjukkan fenomena itu. Di Sulawesi misalnya, dari 110 bahasa daerah, 36 bahasa terancam punah dan satu sudah punah (bahasa Tondano). Maluku, 22 bahasa terancam punah dan 11 bahasa sudah punah dari 80 bahasa daerah yang ada. Ancaman kepunahan cukup besar ada di Papua. Dari 271 bahasa yang ada disana, 56 bahasa terancam punah dan 9 bahasa dianggap punah23)
Masalah besar saat ini, bagaimana dengan bahasa Mori ?
Rasanya gampang-gampang susah menjawab pertanyaan diatas. Selain karena mangkirnya kepedulian masyarakat terhadap bahasa Mori, juga dominasi bahasa Indonesia, jelas memperparah keadaan. Untuk dapat bertahan dari kepunahan, secara Linguistik bahasa Mori harus berpenutur minimal 100.000 (seratus ribu) orang. Pertanyaannya, adakah bahasa Mori masih memenuhi batas minimal ini ?
Jadi apapun alasannya, bahasa Mori mutlak harus diselamatkan. Upaya-upaya pemertahanan bahasa (language defence) Mori harus dibuat dan dirumuskan. Langkah jitu pembalikan terhadap arus kepunahan terhadap arah dinamika inklusif, harus sesegera mungkin dilakukan.
Untuk itu, ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, kepada para pemangku kekuasaan dan atau jabatan di lingkungan Pemda Morowali Utara, sempurnakan kebijakan bahasa Mori lewat Raperda-Raperda yang disiapkan. Implementasi UU Otda yang amat luas juga harus membuka kesempatan lebar bagi pembangunan kebijakan pemertahanan bahasa Ibu di daerah masing-masing, tak terkecuali di Wita Mori. Kedua, kepada para Kepala Dinas Pendidikan di level Pemda, benahilah kebijakan pemakaian bahasa Mori di sekolah pada wilayah setempat. Secara teoritis Linguistis, bahasa Mori yang digunakan dengan baik sejak pendidikan paling dasar hingga anak usia SD kelas III, tidak selayaknya pada tingkat awal sudah menyingkirkan peran bahasa Mori. Untuk itu, perlu memasukkan pelajaran bahasa Mori kedalam muatan lokal (Mulok) di sekolah-sekolah. Ketiga, bagi siapapun yang masih merasa memiliki kebangaan terhadap bahasa ibu, bahasa Mori, maka dalam domain keluarga dan ranah kekerabatan dengan rekan dan sanak saudara, dianjurkan agar tetap menggunakan bahasa Mori dalam kehidupan keseharian, sesungguhnya, keluarga yang memiliki jatidiri ibarat sebagai penjaga gawang (goal keeper) paling akhir bagi pertahanan bahasa Mori. Maka oleh sebab itu, jangan biarkan gawang akhir jebol akibat lebih terpesona pada bahasa-bahasa di luar bahasa Mori.
Oleh karenanya, sebagai bentuk tanggung jawab semua Mia Mori, galibnya merasa terpanggil untuk membentengi bahasa Mori sebagai bahasa masyarakat adat agar tidak sirna. Salah satu jawaban yang diberikan, Pemda Morowali Utara harus mau mengambil langkah awal yang berani dengan mencetak karya anak negeri yaitu, Kamus Indonesia – Mori tulisan A.K Tumakaka dan Kamus Mori – Indonesia oleh Laurentius Lingkua BA dan untuk selanjutnya semua cetakan tersebut dijadikan pegangan bagi para guru bahasa Mori kepada anak didik dan dibagikan secara gratis kepada semua sekolah dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan tingkat SMA/Sekolah Kejuruan di seluruh wilayah Mori.
VII. Kesimpulan dan Saran-Saran
Kesimpulan :
Implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah (OTDA) yang amat luas memberi kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah, dalam pengertian setiap pengambilan keputusan lebih dekat kepada rakyat yang dilayani. Rentang kendali pemerintahan menjadi lebih pendek, sehingga pemerintah dapat lebih responsif terhadap kebutuhan, potensi dan kapasitas daerah yang spesifik.
Selain itu Otonomi Daerah memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengambil keputusan. Dengan Otda, proses pengambilan keputusan dekat dengan rakyat yang terkena dampak keputusan tersebut. Keputusan cerdas akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat sebaliknya keputusan yang tidak cerdas akan berakibat kepada kesengsaraan masyarakat.
Dengan demikian dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut : bahwa paradigma Otda pada dasarnya adalah sebuah ruang kesempatan (space of opportunity) bagi rakyat/masyarakat di daerah ini untuk memiliki pemimpin yang cerdas dan amanah yang mampu memetakan (mapping) permasalahan dan mencari solusinya demi tujuan yang hendak dicapai untuk masa depan bersama yang lebih baik, merumuskan program/kegiatan yang membumi dan pro rakyat dan bekerja secara bersama-sama dalam semangat Posintuwa (partnership) mengimplementasikan semua program/kegiatan yang telah dirumuskan dan disepakati bersama untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera dan bermartabat secara sosial, ekonomi dan budaya.
Saran-Saran :
1.
Bahwa berdasarkan telaah sejarah terkait dengan penetapan Hari Ulang Tahun (HUT) kota Kolonodale, maka Perjanjian Wawombau yang ditanda tangani oleh Pemerintah Kerajaan Mori dalam hal ini oleh Raja Mori XI Marunduh Datu ri Tana dengan pihak pemerintah Kolonial Belanda (Gubernemen) pada tanggal 17 November 1906 dapat dijadikan pedoman sebagai dasar penetapan HUT Kolonodale yaitu tanggal 17 November. Dari penelusuran Penulis, tanggal ini bisa dipertanggung jawabkan dari sisi kebenaran sejarah. Selain itu, salah satu butir isi Perjanjian Wawombau yaitu : Pemerintah Hindia Belanda diizinkan untuk mendirikan kantor perwakilannya di Kolonodale (memenuhi azas Legalitas).
Dengan demikian, kota Kolonodale tanggal 17 November 2016 yang lalu telah genap berusia 110 (seratus sepuluh) tahun.
2.
Mendesak kepada Pemda Morowali Utara agar segera menetapkan Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum bagi komunitas masyarakat adat Wita Mori.
Masyarakat Adat Wita Mori ialah sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alam yang ada di dalamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adatnya yang tersedia.
3.
Bahwa dari luasan dan sebaran jumlah penutur, dikuatirkan jumlah penutur bahasa Mori makin berkurang. Proses perkawinan antar suku dan kondisi perkotaan serta kemajuan tekhnologi dewasa ini tidak bisa dibendung sehingga menuntut adanya bahasa komunikasi yang bisa dimengerti semua pihak, pilihan untuk itu ialah pengunaan Bahasa Indonesia. Sementara pada sisi lain, penggunaan bahasa daerah semakin terkikis.
Agar dapat meminimalisir dampak negatif menurunnya jumlah penutur Bahasa Mori, maka kepada para stakeholders (pemangku kepentingan) di lingkungan Pemda Morowali Utara agar membuat kebijakan penggunaan Bahasa Mori lewat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang harus disiapkan.
Selain itu, para Kepala Dinas, benahilah pemakaian Bahasa Mori di sekolah-sekolah. Untuk itu, perlu memasukkan pelajaran Bahasa Mori kedalam mata pelajaran Muatan Lokal (MULOK) di sekolah-sekolah. Dalam kaitan ini, untuk memenuhi kebutuhan buku pegangan baik untuk siswa maupun para guru, Pemda Morowali Utara perlu mengambil langkah bijaksana dengan mencetak Kamus Indonesia – Mori karya anak negeri, A.K Tumakaka maupun Kamus Mori – Indonesia karya Laurentius Lingkua BA.
Juga penggunaan secara aktif Bahasa Mori lebih digiatkan melalui upacara-upacara adat seperti misalnya pada acara pernikahan adat. Seluruh rangkaian prosesi upacara ini harus menggunakan Bahasa Mori sebagai bahasa pengantar, dengan demikian nilai-nilai luhur yang terkandung dalam upacara adat, tetap terjaga dan lestari. Demikian pula halnya bila kita melaksanakan perayaan HUT kemerdekaan maka, dalam acara perayaan tersebut dilakasanakan perlombaan pidato dalam Bahasa Mori, membaca puisi dalam Bahasa Mori atau berpantun dalam bahasa Mori. Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi penggunaan Bahasa Mori. Bahasa Mori perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama pada generasi muda suku Mori.
Lembaga Adat Wita Mori harus berperan aktif dan menjadi contoh cerdas mendorong dan mensosialisasikan penggunaan Bahasa Mori di tengah masyarakat luas seluruh Wita Mori, olehnya Lembaga ini dapat menjadi Lembaga yang terpandang serta disegani di tengah masyarakat Wita Mori
CATATAN KAKI
1)
Wawancara via telepon dengan Sdr Johny Badu tanggal 17 Mei 2016.
2)
Tumakaka A.K, 2014. Kamus Indonesia – Mori, Yogyakarta : Pohon Cahaya, hlm V
3)
Di Sulawesi Tengah Raja Mori terkenal dengan gelar Datu ri Tana yang berarti “raja di raja”. Menurut A.C Kruyt, gelar ini, sebagaimana keterangan yang diperolehnya dari seorang petugas, adalah pemberian Raja Luwu, karena Raja Mori berkedudukan jauh di pedalaman. Kruyt juga tidak menjelaskan siapa nama dan jabatan petugas tersebut yang telah memberi keterangan kepada Kruyt. Harus diingat, bahwa A.C Kruyt adalah seorang peneliti sekaligus sebagai misionaris dari negeri Belanda, fakta yang tidak bisa dipungkiri. Namun pada sisi lain, Kruyt juga berperan ganda sebagai kaki tangan pemerintah Kolonial Belanda untuk membujuk Raja Mori Marunduh Datu ri Tana agar mau berdamai dan bekerja sama dengan Belanda. Usaha Kruyt ini sia-sia karena ternyata Marunduh Datu ri Tana menolak secara tegas bujukan A.C Kruyt. Pertemuan mereka terjadi pada tahun 1899.
Sebagai kilas balik, dalam hubungan antara Kerajaan Mori dengan Kerajaan Luwu. Tahun 1670 ketika Raja Luwu XVI Datu Setiaraja Matinroe ri Tompotika (1667-1704) menyerang Kerajaan Mori dan berhasil menawan Ratu Wedange Raja Mori III (1650-1670) bersama putra tertuanya yang menjadi putra mahkota, Sungkawawo dan Karua Kelo.
Untuk menghindari agar Kerajaan Mori tidak menjadi kerajaan palili dari Kerajaan Luwu, maka kerajaan Mori telah mengangkat seorang raja baru menurut tradisi pemerintah kerajaan, tanpa campur tangan pemerintah Kerajaan Luwu yaitu, penobatan Anomba menjadi Raja Mori IV (1670-1720) menggantikan Ratu Wedange. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa ekspedisi penaklukan Luwu terhadap Kerajaan Mori tahun 1670 gagal total menempatkan Kerajaan Mori menjadi Kerajaan Palili dari Kerajaan Luwu. Hal ini didukung oleh beberapa faktor antara lain: 1). Kembalinya Karua Kelo setelah membayar ganti rugi atas penahanannya, menunjukkan bahwa ia kembali bukan sebagai utusan Kerajaan Luwu, melainkan sebagai tokoh yang telah bebas sebagai seorang tahanan politik; 2). Usaha untuk memulangkan Ratu Wedange untuk kembali memegang kendali politik kerajaan Mori sebagai Kerajaan Palili, ditolak mentah-mentah oleh sang ratu; 3). Ketika terjadi kevakuman pemerintahan, Karua Kelo yang didukung oleh para bangsawan yang lain, telah berinisiatif memilih dan menobatkan Anamba menjadi pengganti Ratu Wedange tanpa sepengetahuan pemerintah Kerajaan Luwu; 4). Raja Mori, Sungkawawo yang dinobatkan Raja Luwu menjadi pengganti Ratu Wedange tidak diterima (ditolak) menjadi Raja Mori, sehingga ia meninggalkan Wawontuko dan pergi menetap di Matano, wilayah kekuasaan Kerajaan Luwu.
Dalam perkembangan kemudian, ternyata pihak pemerintah Kerajaan Luwu justru mengumumkan status kerajaan Mori, merdeka dan berdaulat penuh. Sikap pemerintah Kerajaan Luwu itu sesungguhnya berkaitan dengan sikap penguasa kerajaan Mori yang tidak ingin memenuhi kewajiban menyerahkan upeti serta tunduk kepada kerajaan Luwu. Oleh karena itu, para penguasa Mori dan bangsawannya tidak pernah memandang bahwa Kerajaan Mori menjadi Kerajaan Palili melainkan satu kerajaan yang merdeka dan berdaulat secara penuh sejajar dengan Kerajaan Luwu.
Pada periode pemerintahan Datu Luwu ke 22, Batari Tungke Sultanat Fatimah telah mengakui untuk membebaskan kerajaan Mori dari status membayar upeti dan menjadi kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.
4)
Akil M, As, 2008. Luwu, Dimensi Sejarah dan Kepercayaan, Makassar : Pustaka Refleksi, hlm 75.
5)
Sarasin Fritz und Paul, 1905. Reisen in Celebes, Wiesbaden : C.W Kreidel’s Verlag, hlm 323.
6)
Sarasin Fritz und Paul, 1905. Reisen in Celebes.
7)
Gunung Tambuisisi (2422 M) terletak di hulu sungai Morowali disebelah Utara Kolonodale tepatnya terletak di Kecamatan Soyo Jaya. Gunung Tambuisisi pertama kali didaki oleh Tim dari Belanda tahun 1920. Pada tahun 1980, Tim dari Duplicate Operation Drake juga mendaki gunung ini. Dalam penjelajahan penelitiannya di Indonesia, Tim Duplicate Operation Drake tiba di Teluk Tomori pada 24 Januari 1980. Mereka melakukan kegiatan pengumpulan data tentang Morowali dan Lore Kalamanta karena daerah ini telah diusulkan sebagai daerah suaka alam. Dalam kesempatan itu diteliti pula hutan-hutan disekitar Morowali, baik dari segi Flora maupun Fauna. Demikian pula aspek sosial ekonomi di daerah suaka alam tersebut, misalnya di daerah Tambayoli, Tokala, Matube, Banggai dan Menui yang juga direncanakan sebagai daerah suaka laut.
8)
Untuk jelasnya agar membaca karya Dr Samuel Jonathan Esser dalam Klank En Vormleer Van Het Morisch yang diterbitkan dalam dua bagian masing-masing tahun 1927 dan 1933. Tahun 1977, Dr David Mead seorang peneliti bahasa Mori dari Rice University di Amerika, karya Esser tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul : Phonology and Morphology of Mori.
Dalam proses menerjemahkan karya Esser ini, Mead kemudian melakukan beberapa up date atas karya itu dengan tujuan menjadikan karya tersebut agar lebih mudah dimengerti. Yang paling menonjol dari up date ini adalah internalisasi secara signifikan dari contoh-contoh Esser. Dalam hal ini, Mead membuat pemisahan morfem dan ulasan morfem demi morfem, dimana Esser sebelumnya hanya menyajikan kalimat-kalimat Bahasa Mori dalam terjemahan Bahasa Belanda.
9)
Hidayah 2, 1977. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta : LP3ES, hlm 193.
10)
Lasny Soeria, 2011. Sejarah Kepemimpinan Sulawesi Tengah, Palu : PT Berkat Mulia Bersama, hlm 4.
11)
Wallace Alfred Russel, 2009. Kepulauan Nusantara, hlm 249.
12)
Kruyt J, 1924. De Mories Van Tinompo (Oostelijk Midden Celebes), KLTV: S Gravenhage – Martinus Nijhoff, hlm 33.
13)
Jonkheer (untuk perempuan Jonkvrouw) yaitu panggilan untuk kelas terendah dalam sistem kebangsawanan Belanda.
14)
Kruyt Alb C, 1979. Kerajaan Mori (terj), Jakarta : Yayasan Idayu, hlm 29.
15)
Wawancara melalui telepon dengan Drs Johny Badu tanggal 4 Mei 2016.
16)
Posthouder adalah jabatan terendah dalam hirarki pemerintahan Belanda. Jabatan Posthouder khususnya di wilayah Timur Besar, bukan diangkat untuk memerintah melainkan semata-mata mewakili kekuatan Belanda untuk mengibarkan bendera.(G.J Resink dalam buku “Bukan 350 Tahun Dijajah, hlm XXV)
17)
Dr Edward L. Poelinggomang dalam bukunya : Kerajaan Mori – Sejarah dari Sulawesi Tengah, menulis bahwa Perjanjian Wawombau berlangsung pada bulan November 1906 tanpa menulis tanggalnya, seharusnya 17 November 1906.
Redaksi butir-butir kesepakatan diperbaiki tanpa merobah arti dan makna sebagaimana yang ditulis oleh Edward L. Poelinggomang. Lokasi desa Wawombau terletak antara desa Londi Kecamatan Mori
18)
Menurut Michiel Hegener, pendirian kantor pemerintahan Hindia Belanda di Kolonodale dilaksanakan setelah membayar ganti rugi kepada Sultan Ternate sebesar FL.6.000 untuk pembebasan wilayah kepulauan Banggai, Bungku dan Mori. Pernyataan Hegener ini tidak masuk akal karena pihak pemerintah Kolonial Belanda telah mengetahui dengan pasti bahwa Kerajaan Mori bukan wilayah kekuasaan Sultan Ternate sejak dilancarkannya ekspedisi militer pertama tahun 1856. Selain itu, Kesulatanan Ternate ketika itu telah takluk dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dan tidak lagi menjadi kesultanan yang merdeka dan berdaulat. Tanggal 7 Juli 1683, Raja Ternate, Sultan Sibori menanda tangani perjanjian takluk kepada Belanda. Perjanjian ini mengakhiri kesultanan Ternate sebagai negara merdeka dan berdaulat dan menjadikan Ternate sebagai kerajaan yang bergantung (dependen) dan terikat sepenuhnya kepada Belanda. (https://id.wikipedia.org/wiki/kesultananternate).
Dalam Perjanjian Wawombau ini untuk pertama kali nama Kolonodale digunakan/ditulis. Sampai dengan tahun 1905 dalam peta yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda, nama Kolonodale belum tertulis.
19)
Wawancara melalui telepon dengan Theo Tumakaka tanggal 28 April 2016.
20)
Disarankan untuk membaca buku Kerajaan Mori – Sejarah dari Sulawesi Tengah karya Dr Edward L. Poelinggomang.
21)
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2009. Prinsip Free, Prior and Informed Consent. Sebuah Panduan Bagi Para Aktivis, hlm. 1 dan 2.
22)
AMAN, tanpa tahun. Deklarasi PBB Tentang Hak-hak Masyarakat Adat, hlm. 13 dan 16.
23)
Harian Kompas, 23 Mei 2007, hlm. 12.