In Memoriam
Oleh: Jamrin Abubakar
Di saat
sebagian generasi muda tak bangga dengan adat dan tradisi Kaili yang terus
tergerus zaman, justru sebaliknya seorang Hidayat Lembang menyatakan
kebanggaan. Pernyataan itu dia ungkapkan dalam puisi-puisi berbahasa Kaili dan
bahasa Indonesia serta bentuk seni
pertunjukan tradisi maupun kontemporer yang berakar dari kebudayaan Kaili.
Sebutan
diskriminatif To Lare bagi suku Kaili
yang termarginalkan di lereng-pegunungan, menjadi inspirasi bagi Hidayat
Lembang melahirkan puisi-puisi keprihatinan bernada kritis pada soal kebijakan
pemerintah yang kurang berpihak, namun dengan cara lembut. Sekaligus menggugah
pembaca untuk bersimpatik pada kaum marginal seperti dalam puisi To Kaili Sangaku dan beberapa puisi
bertema Tolare (Nyanyian Tolare) yang telah menjadi brand “Penyair Tolare” pada sosok Hidayat. Di antara karya-karya
puisinya itu dimuat dalam buku Lelerai sebuah antologi bersama
diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu
(2005) dan Panembulu Antologi Puisi
Berbahasa Kaili diterbitkan Dewan
Kesenian Palu (2006).
Tetapi kini
sosok “kontroversi” yang dikenal berani mengeksplorasi tradisi Kaili dalam
karya seni itu, telah tiada. Hidayat Lembang seniman sejati yang mendapat
kepercayaan menjadi Kepala Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru sejak tahun
2008 lalu itu telah berpulang ke
Rahmatullah menjelang dinihari Jumat (19 November 2010). Innalillahi Wa Inna
Ilahi Rojiun.
Sebelum
menghembuskan nafas terakhir, Hidayat yang dikenal mudah akrab bagi siapa saja
itu telah menderita sakit komplikasi tiga
bulan terakhir. Namun raganya tak kuasa lagi bertahan, sehingga sang
Khalik pun menjemputnya. Terlepas dari sosoknya yang kadang “slebor,” tapi
namanya telah menjadi bagian catatan perkembangan kesenian di Tanah Kaili
khususnya di Kota Palu.
Keberagaman
tradisi kebudayaan Kaili sekalipun dimitoskan dan kadang dianggap tabu untuk diutak-atik,
seorang Hidayat dengan kreativitas melakukan eksploitasi bisa menarik sebagai
karya seni. Meskipun dianggap kontroversi, karena beberapa pertunjukan yang
dihasilkan tak lazim dari sebuah pakem yang disakralkan dalam tradisi yang
melegenda. Namun demikian telah menjadi pendobrak dengan cara mengajak (komunitas
seni) berpikir kembali sesuatu yang telah terlanjur ditabukan.
Sosok Hidayat
Lembang adalah seorang seniman aktor, penulis, sutradara teater dan dikenal
sebagai salah satu di antara sedikit penyair Kaili. Lahir di Sabang, 26 Maret
1965 dan total bermukim di Desa Mpanau yang kemudian di situ pula ia mendapat
kepercayaan jadi Ketua
Badan Perwakilan Desa (BPD) Mpanau, Sigi Biromaru dan Sekertaris Majelis Adat
Kecamatan Sigi Biromaru hingga terpilih sebagai Kepala Desa
Mpanau sejak tahun 2008.
Selain itu
pernah menjadi
aktivis LSM Yayasan Rosontapura Palu, pengurus Panti Asuhan Karya Muslim Kelurahan
Petobo, Palu Selatan dan pernah terlibat
dalam kepengurusan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah dan Dewan Kesenian Palu. Mencintai kesenian dan
berkarya di bidang sastra/teater sejak dari bangku SLTP di Biromaru.
Karya-karya puisinya disatukan dalam kumpulan Nyanyian Tolare, tapi belum dipublikasikan secara resmi, kecuali beberapa puisi dalam
buku Lelerai sebuah antologi bersama
diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu
(2005) dan Panembulu Antologi Puisi
Berbahasa Kaili (2006) diterbitkan Dewan Kesenian Palu.
Sedangkan puluhan lainnya
termasuk syair-syair lagu Kaili dalam Siga
Lei belum terbit, sehingga
banyak yang tercecer. Disamping karya puisi, menulis naskah-naskah teater
tradisional yang ditampilkan dalam berbagai pergelaran, antara lain; Pue Langga, Randa Ntovea, Sando, Kerajaan
Uwentira, Topobete, Toma Langgai,
Tandavula, Ombo, Perang Tadulako dan Tomalanggai, Tanda Vula, Benggabula, Iyojo
nte Idei dan naskah TV yang berjudul “Tadulako
Nu Bulili” yang pernah ditayangkan TVRI Pusat Jakarta pada tahun 1989.
Karya Terlarang
Salah satu naskah teaternya yang berujung
kontroversi berjudul Tomalanggai tahun 1995 saat akan dipentaskan Teater
Sigandia di Taman Budaya Sulteng mendapat
penolakan dari pihak Taman Budaya Sulteng. Alasan pihak Taman Budaya tidak
lazim dan mempertentangkan dengan tokoh yang selama ini diagungkan (Tadulako),
sehingga dikhawatirkan menimbulkan teguran keras dari pemerintah yang saat itu
“rajin” menyensor setiap naskah yang
akan dipentaskan.
Padahal naskah Tomalanggai,
menurut penulisnya, itu sajian yang dikaji berdasarlan sumber-sumber lisan
terutama masyarakat pedalaman tempat ide cerita. Naskah itu menggambarkan peran
Tomalanggai dan Tadulako sebagai orang dekat raja. Suatu ketika
raja memberikan penghargaan pada Tomalanggai karena dianggap
berprestasi. Namun Tadulako merasa iri, dan singkat cerita, ada orang
ketiga yang menghasut, maka terjadilah perseteruan yang mengakibatkan Tadulako
mati.
Nah di situlah masalahnya! Padahal
menurut Andi Hajidin alias Didin selaku Ketua Sigandia ketika itu, sama sekali tak ada
maksud merendahkan Tadulako dalam cerita itu. Keduanya ditampilkan sebagai simbol tokoh
untuk masyarakat, bahwa beginilah masalah yang sering kita hadapi.
Itu sebagian kecil sepakterjang
sang seniman Kaili, yang kini tinggal kenangan menyusul Sjahrir Lawide seniman
Kaili yang telah berpulang lebih awal tahun 2008 lalu. Di mata rekan-rekan
seniman Kota Palu, “Dayat,” sapaan akrab almarhum sangat sederhana dan supel
dalam pergaulan, tapi kritis terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak
pada seniman dan budayawan.
Di antara kegiatan kesenian
yang pernah diikuti di forum nasional, pertemuan seniman se-Indonesia di Solo
tahun 1995 memperingati 50 Tahun Indonesia dan sekaligus mempresentasikan
pertunjukan karya teater berjudul “Sando”
dan menulis naskah Puisi Nyanyian Tolare
untuk antologi karya puisi. Mengikuti
Pertemuan Sastrawan Nusantara IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia di Kayutanam
Sumatra Barat tahun 1997, Pertemuan
Teater se-Indonesia di UGM Yogyakarta tahun 1999 sekaligus mempresentasikan
karya teater berjudul Topebete.
Disamping sebagai penulis
juga sempat terlibat bermain dalam Film Akhir Pekan tayangan TVRI Pusat Jakarta
yang berjudul “Air Mata Ibu” produksi TVRI Ujung Pandang. Jadi pemeran dalam film
pemula garapan Erwin Sirajudin berjudul Telunjuk
Tak Berjiwa produksi Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (2002). Sebuah novel Randantovea telah ditulis tapi belum diterbitkan. Naskah tersebut dibuatkan pula dalam bentuk scenario
film/sinetron tahun 1995 yang akan diproduksi TPI, namun tidak berlanjut
disebabkan keterbatasan dana waktu itu.
Soal peningkatan kapasitas
pengelolaan lembaga kesenian, almarhum pernah mengikuti Pelatihan Manajemen
Seni Pertunjukan oleh Departemen Pariwisata dan Seni Budaya di Jakarta tahun
1998 dan masuk 10 besar. Sedangkan pertunjukan di Kota Palu tak terhitung dan sering menjadi pembicara
dalam diskusi soal teater di Kota Palu yang kini tinggal kenangan manis.
Selamat jalan sang penyair “To Lare”, Hidayat Lembang. Insya
Allah, jasamu akan menjadi rahmat di sisi-nya seperti yang engkau rindukan
dalam bait puisimu Atas Nama; Aku sebut
namaMu/ Dalam syalawatku/Dalam zikir dan tasbihku, Ya …. Allah/ Kaulah pejaga/Hidup dan matiku (1997).
(Jamrin Abubakar: Seorang pemerhati
seni dan budaya di Kota Palu)