Berisi tulisan masalah sederhana tentang sosial, budaya dan sejarah yang ditulis JAMRIN ABUBAKAR. Menginformasikan pula dinamika "gerakan literasi" di KOTA PALU dan DONGGALA, sekaligus menjadi media pemasaran buku-buku terbitan lokal.
Rabu, 22 Desember 2010
Selasa, 21 Desember 2010
Cerita Legenda dari SULAWESI TENGAH (Sebuah Pengantar)
Sulawesi Tengah (Sulteng) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sejak dulu memiliki kekayaan cerita rakyat atau legenda yang menjadi tradisi lisan di tengah masyarakat. Tetapi cerita rakyat tersebut masih sangat minim dipublikasikan atau dibukukan, kecuali hanya menjadi tuturan dari generasi ke generasi.
Akibatnya di Sulawesi Tengah tradisi lisan ada kencenderungan penuturnya mulai berkurang, terutama pada masyarakat perkotaan. Tinggal sedikit orang-orang tua yang bisa memelihara cerita legenda, itu pun tinggal di kampung-kampung, sehingga dikhawatirkan suatu saat banyak cerita rakyat Sulawesi Tengah terancam punah dan tak diketahui lagi generasi mendatang.
Dengan latar belakang itulah, penulis yang pernah melakukan eksploirasi ke beberapa daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah untuk keperluan penulisan beberapa legenda, sehingga dapat ditulis dan diterbitkan dalam bentuk buku. Sejumlah cerita rakyat di Sulawesi Tengah banyak yang memiliki hubungan dengan kepercayaan lingkungan alam suku-suku asli yang mendiami daerah tersebut. Bahkan sebagian mempercayai sebagai bagian tradisi dari leluhur yang sangat erat kaitan beberapa upacara tradisi dan sejarah masa lampau.
Dalam buku ini, penulis menyajikan enam buah legenda yang terpendam di Sulawesi Tengah, karena hanya menjadi tuturan dari mulut ke mulut, sehingga sangat penting dilestarikan dalam bentuk penulisan seperti yang sedang Anda baca. Keenam cerita rakyat tersebut, yaitu; Terjadinya Lembah Palu, Bengga Bula, Putri Kulavi Dalam Pohon, Asal-Usul Ubi Banggai, Tragedi Tadulako dan Mpolenda Yang Terkutuk.
Semoga tulisan yang disajikan ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat memetik beberapa hikmah dalam legenda yang diangkat dari tradisi suku-suku yang menjadi latar belakang cerita rakyat dalam buku ini.
Demikian sepintas kata pengantar dari penulis, atas saran dan bantuan semua pihak sehingga buku ini terbit, saya ucapkan terima kasih.
Jamrin Abubakar (Penulis)
Warkop Nagaya: Peracik Kopi dari Negeri Cina, Legenda Donggala (Penggalan Catatan Jamrin Abubakar)
“KALAU datang ke Donggala, jangan lupa mampir ke Warung Kopi (Warkop) Nagaya.”
Pesan itu sering dilontarkan para pecandu kopi di Kota Donggala. Termasuk orang-orang Donggala perantau yang kebetulan sedang mudik, sebelum pulang tak lupa mampir dulu ke Nagaya mencicipi kopi dengan racikan “narasa.”
Ada apa dengan Nagaya?
Di sinilah bisa menjadi tempat penyampaian segala unek-unek di antara pengunjung, bisa saling bergurau atau bertukar informasi segala isu yang sedang hangat dibicarakan baik lokal maupun yang sifatnya nasional. Betul-betul menjadi penyaluran segala pikiran di antara pengunjung, sehingga warga setempat kadang menyebut Nagaya merupakan DPRD Tingkat III Donggala.
Pengunjungnya pun beragam latar belakang, dari buruh pelabuhan, nelayan, pegawai kantoran, politisi sampai pejabat pemerintah menjadi pelanggan Nagaya.
Menunya selain kopi hitam (namanya juga kopi) dan kopi susu, ada pula roti bakar. Selanjutnya bisa bercerita berjam-jam saling bergurau saling sindir tanpa bermaksud melukai perasaan orang lain. Orang Donggala menyebutnya “sipandala.” Bila ada banyak pengunjung, tetapi tempat duduk tidak cukup, maka sudah menjadi tatakrama yang merasa sudah cukup lama duduk, pasti mengerti segera meninggalkan tempat. Giliran yang baru datang menempati kursi. Maklum tempat kursi yang tersedia tidak sampai 20-an, karena ruangan tak begitu luas.
...................
......................
........................
Minggu, 12 Desember 2010
BUKU TERBITAN DARI PALU
Dapatkan buku-buku sastra dan budaya dari penulis Kota Palu, tersedia di TOKO BUKU RAMEDIA Jl. Hasanuddin (depan Bank MANDIRI) Kota Palu No 40, Tlp 0451- 421218.
1. CATATAN SEORANG PEJALAN KAKI (Kumpulan Puisi TS. ATJAT)
2. ILUSTRASI POLITIK KANCIL Catatan Warna-Warni (karya Mas’amah M. Amin Syam)
3. ORANG KAILI GELISAH Catatan Kecil Seorang Wartawan (karya Jamrin Abubakar)
4. SONETA COMBERAN (Kumpulan Puisi Nooral Baso)
5. IN MEMORIAM WS RENDRA (Esai dan Puisi dari Kota Palu)
6. PANEMBULU Antologi Puisi Bahasa Kaili
Nantikan buku-buku lainnya karya para penulis Kota Palu
Rabu, 24 November 2010
HIDAYAT LEMBANG: PENYAIR TOLARE ITU TELAH TIADA
In Memoriam
Oleh: Jamrin Abubakar
Di saat
sebagian generasi muda tak bangga dengan adat dan tradisi Kaili yang terus
tergerus zaman, justru sebaliknya seorang Hidayat Lembang menyatakan
kebanggaan. Pernyataan itu dia ungkapkan dalam puisi-puisi berbahasa Kaili dan
bahasa Indonesia serta bentuk seni
pertunjukan tradisi maupun kontemporer yang berakar dari kebudayaan Kaili.
Sebutan
diskriminatif To Lare bagi suku Kaili
yang termarginalkan di lereng-pegunungan, menjadi inspirasi bagi Hidayat
Lembang melahirkan puisi-puisi keprihatinan bernada kritis pada soal kebijakan
pemerintah yang kurang berpihak, namun dengan cara lembut. Sekaligus menggugah
pembaca untuk bersimpatik pada kaum marginal seperti dalam puisi To Kaili Sangaku dan beberapa puisi
bertema Tolare (Nyanyian Tolare) yang telah menjadi brand “Penyair Tolare” pada sosok Hidayat. Di antara karya-karya
puisinya itu dimuat dalam buku Lelerai sebuah antologi bersama
diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu
(2005) dan Panembulu Antologi Puisi
Berbahasa Kaili diterbitkan Dewan
Kesenian Palu (2006).
Tetapi kini
sosok “kontroversi” yang dikenal berani mengeksplorasi tradisi Kaili dalam
karya seni itu, telah tiada. Hidayat Lembang seniman sejati yang mendapat
kepercayaan menjadi Kepala Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru sejak tahun
2008 lalu itu telah berpulang ke
Rahmatullah menjelang dinihari Jumat (19 November 2010). Innalillahi Wa Inna
Ilahi Rojiun.
Sebelum
menghembuskan nafas terakhir, Hidayat yang dikenal mudah akrab bagi siapa saja
itu telah menderita sakit komplikasi tiga
bulan terakhir. Namun raganya tak kuasa lagi bertahan, sehingga sang
Khalik pun menjemputnya. Terlepas dari sosoknya yang kadang “slebor,” tapi
namanya telah menjadi bagian catatan perkembangan kesenian di Tanah Kaili
khususnya di Kota Palu.
Keberagaman
tradisi kebudayaan Kaili sekalipun dimitoskan dan kadang dianggap tabu untuk diutak-atik,
seorang Hidayat dengan kreativitas melakukan eksploitasi bisa menarik sebagai
karya seni. Meskipun dianggap kontroversi, karena beberapa pertunjukan yang
dihasilkan tak lazim dari sebuah pakem yang disakralkan dalam tradisi yang
melegenda. Namun demikian telah menjadi pendobrak dengan cara mengajak (komunitas
seni) berpikir kembali sesuatu yang telah terlanjur ditabukan.
Sosok Hidayat
Lembang adalah seorang seniman aktor, penulis, sutradara teater dan dikenal
sebagai salah satu di antara sedikit penyair Kaili. Lahir di Sabang, 26 Maret
1965 dan total bermukim di Desa Mpanau yang kemudian di situ pula ia mendapat
kepercayaan jadi Ketua
Badan Perwakilan Desa (BPD) Mpanau, Sigi Biromaru dan Sekertaris Majelis Adat
Kecamatan Sigi Biromaru hingga terpilih sebagai Kepala Desa
Mpanau sejak tahun 2008.
Selain itu
pernah menjadi
aktivis LSM Yayasan Rosontapura Palu, pengurus Panti Asuhan Karya Muslim Kelurahan
Petobo, Palu Selatan dan pernah terlibat
dalam kepengurusan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah dan Dewan Kesenian Palu. Mencintai kesenian dan
berkarya di bidang sastra/teater sejak dari bangku SLTP di Biromaru.
Karya-karya puisinya disatukan dalam kumpulan Nyanyian Tolare, tapi belum dipublikasikan secara resmi, kecuali beberapa puisi dalam
buku Lelerai sebuah antologi bersama
diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu
(2005) dan Panembulu Antologi Puisi
Berbahasa Kaili (2006) diterbitkan Dewan Kesenian Palu.
Sedangkan puluhan lainnya
termasuk syair-syair lagu Kaili dalam Siga
Lei belum terbit, sehingga
banyak yang tercecer. Disamping karya puisi, menulis naskah-naskah teater
tradisional yang ditampilkan dalam berbagai pergelaran, antara lain; Pue Langga, Randa Ntovea, Sando, Kerajaan
Uwentira, Topobete, Toma Langgai,
Tandavula, Ombo, Perang Tadulako dan Tomalanggai, Tanda Vula, Benggabula, Iyojo
nte Idei dan naskah TV yang berjudul “Tadulako
Nu Bulili” yang pernah ditayangkan TVRI Pusat Jakarta pada tahun 1989.
Karya Terlarang
Salah satu naskah teaternya yang berujung
kontroversi berjudul Tomalanggai tahun 1995 saat akan dipentaskan Teater
Sigandia di Taman Budaya Sulteng mendapat
penolakan dari pihak Taman Budaya Sulteng. Alasan pihak Taman Budaya tidak
lazim dan mempertentangkan dengan tokoh yang selama ini diagungkan (Tadulako),
sehingga dikhawatirkan menimbulkan teguran keras dari pemerintah yang saat itu
“rajin” menyensor setiap naskah yang
akan dipentaskan.
Padahal naskah Tomalanggai,
menurut penulisnya, itu sajian yang dikaji berdasarlan sumber-sumber lisan
terutama masyarakat pedalaman tempat ide cerita. Naskah itu menggambarkan peran
Tomalanggai dan Tadulako sebagai orang dekat raja. Suatu ketika
raja memberikan penghargaan pada Tomalanggai karena dianggap
berprestasi. Namun Tadulako merasa iri, dan singkat cerita, ada orang
ketiga yang menghasut, maka terjadilah perseteruan yang mengakibatkan Tadulako
mati.
Nah di situlah masalahnya! Padahal
menurut Andi Hajidin alias Didin selaku Ketua Sigandia ketika itu, sama sekali tak ada
maksud merendahkan Tadulako dalam cerita itu. Keduanya ditampilkan sebagai simbol tokoh
untuk masyarakat, bahwa beginilah masalah yang sering kita hadapi.
Itu sebagian kecil sepakterjang
sang seniman Kaili, yang kini tinggal kenangan menyusul Sjahrir Lawide seniman
Kaili yang telah berpulang lebih awal tahun 2008 lalu. Di mata rekan-rekan
seniman Kota Palu, “Dayat,” sapaan akrab almarhum sangat sederhana dan supel
dalam pergaulan, tapi kritis terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak
pada seniman dan budayawan.
Di antara kegiatan kesenian
yang pernah diikuti di forum nasional, pertemuan seniman se-Indonesia di Solo
tahun 1995 memperingati 50 Tahun Indonesia dan sekaligus mempresentasikan
pertunjukan karya teater berjudul “Sando”
dan menulis naskah Puisi Nyanyian Tolare
untuk antologi karya puisi. Mengikuti
Pertemuan Sastrawan Nusantara IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia di Kayutanam
Sumatra Barat tahun 1997, Pertemuan
Teater se-Indonesia di UGM Yogyakarta tahun 1999 sekaligus mempresentasikan
karya teater berjudul Topebete.
Disamping sebagai penulis
juga sempat terlibat bermain dalam Film Akhir Pekan tayangan TVRI Pusat Jakarta
yang berjudul “Air Mata Ibu” produksi TVRI Ujung Pandang. Jadi pemeran dalam film
pemula garapan Erwin Sirajudin berjudul Telunjuk
Tak Berjiwa produksi Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (2002). Sebuah novel Randantovea telah ditulis tapi belum diterbitkan. Naskah tersebut dibuatkan pula dalam bentuk scenario
film/sinetron tahun 1995 yang akan diproduksi TPI, namun tidak berlanjut
disebabkan keterbatasan dana waktu itu.
Soal peningkatan kapasitas
pengelolaan lembaga kesenian, almarhum pernah mengikuti Pelatihan Manajemen
Seni Pertunjukan oleh Departemen Pariwisata dan Seni Budaya di Jakarta tahun
1998 dan masuk 10 besar. Sedangkan pertunjukan di Kota Palu tak terhitung dan sering menjadi pembicara
dalam diskusi soal teater di Kota Palu yang kini tinggal kenangan manis.
Selamat jalan sang penyair “To Lare”, Hidayat Lembang. Insya
Allah, jasamu akan menjadi rahmat di sisi-nya seperti yang engkau rindukan
dalam bait puisimu Atas Nama; Aku sebut
namaMu/ Dalam syalawatku/Dalam zikir dan tasbihku, Ya …. Allah/ Kaulah pejaga/Hidup dan matiku (1997).
(Jamrin Abubakar: Seorang pemerhati
seni dan budaya di Kota Palu)
PENYAIR TOLARE ITU TELAH TIADA
In Memoriam: Hidayat Lembang
Oleh: Jamrin Abubakar
Sebutan diskriminatif To Lare bagi suku Kaili yang termarginalkan di lereng-pegunungan, menjadi inspirasi bagi Hidayat Lembang melahirkan puisi-puisi keprihatinan bernada kritis pada soal kebijakan pemerintah yang kurang berpihak, namun dengan cara lembut. Sekaligus menggugah pembaca untuk bersimpatik pada kaum marginal seperti dalam puisi To Kaili Sangaku dan beberapa puisi bertema Tolare (Nyanyian Tolare) yang telah menjadi brand “Penyair Tolare” pada sosok Hidayat. Di antara karya-karya puisinya itu dimuat dalam buku Lelerai sebuah antologi bersama diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu (2005) dan Panembulu Antologi Puisi Berbahasa Kaili diterbitkan Dewan Kesenian Palu (2006).
Tetapi kini sosok “kontroversi” yang dikenal berani mengeksplorasi tradisi Kaili dalam karya seni itu, telah tiada. Hidayat Lembang seniman sejati yang mendapat kepercayaan menjadi Kepala Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru sejak tahun 2008 lalu itu telah berpulang ke Rahmatullah menjelang dinihari Jumat (19 November 2010). Innalillahi Wa Inna Ilahi Rojiun.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Hidayat yang dikenal mudah akrab bagi siapa saja itu telah menderita sakit komplikasi tiga bulan terakhir. Namun raganya tak kuasa lagi bertahan, sehingga sang Khalik pun menjemputnya. Terlepas dari sosoknya yang kadang “slebor,” tapi namanya telah menjadi bagian catatan perkembangan kesenian di Tanah Kaili khususnya di Kota Palu.
Keberagaman tradisi kebudayaan Kaili sekalipun dimitoskan dan kadang dianggap tabu untuk diutak-atik, seorang Hidayat dengan kreativitas melakukan eksploitasi bisa menarik sebagai karya seni. Meskipun dianggap kontroversi, karena beberapa pertunjukan yang dihasilkan tak lazim dari sebuah pakem yang disakralkan dalam tradisi yang melegenda. Namun demikian telah menjadi pendobrak dengan cara mengajak (komunitas seni) berpikir kembali sesuatu yang telah terlanjur ditabukan.
Sosok Hidayat Lembang adalah seorang seniman aktor, penulis, sutradara teater dan dikenal sebagai salah satu di antara sedikit penyair Kaili. Lahir di Sabang, 26 Maret 1965 dan total bermukim di Desa Mpanau yang kemudian di situ pula ia mendapat kepercayaan jadi Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Mpanau, Sigi Biromaru dan Sekertaris Majelis Adat Kecamatan Sigi Biromaru hingga terpilih sebagai Kepala Desa Mpanau sejak tahun 2008.
Selain itu pernah menjadi aktivis LSM Yayasan Rosontapura Palu, pengurus Panti Asuhan Karya Muslim Kelurahan Petobo, Palu Selatan dan pernah terlibat dalam kepengurusan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah dan Dewan Kesenian Palu. Mencintai kesenian dan berkarya di bidang sastra/teater sejak dari bangku SLTP di Biromaru. Karya-karya puisinya disatukan dalam kumpulan Nyanyian Tolare, tapi belum dipublikasikan secara resmi, kecuali beberapa puisi dalam buku Lelerai sebuah antologi bersama diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu (2005) dan Panembulu Antologi Puisi Berbahasa Kaili (2006) diterbitkan Dewan Kesenian Palu.
Sedangkan puluhan lainnya termasuk syair-syair lagu Kaili dalam Siga Lei belum terbit, sehingga banyak yang tercecer. Disamping karya puisi, menulis naskah-naskah teater tradisional yang ditampilkan dalam berbagai pergelaran, antara lain; Pue Langga, Randa Ntovea, Sando, Kerajaan Uwentira, Topobete, Toma Langgai, Tandavula, Ombo, Perang Tadulako dan Tomalanggai, Tanda Vula, Benggabula, Iyojo nte Idei dan naskah TV yang berjudul “Tadulako Nu Bulili” yang pernah ditayangkan TVRI Pusat Jakarta pada tahun 1989.
Karya Terlarang
Salah satu naskah teaternya yang berujung kontroversi berjudul Tomalanggai tahun 1995 saat akan dipentaskan Teater Sigandia di Taman Budaya Sulteng mendapat penolakan dari pihak Taman Budaya Sulteng. Alasan pihak Taman Budaya tidak lazim dan mempertentangkan dengan tokoh yang selama ini diagungkan (Tadulako), sehingga dikhawatirkan menimbulkan teguran keras dari pemerintah yang saat itu “rajin” menyensor setiap naskah yang akan dipentaskan.
Padahal naskah Tomalanggai, menurut penulisnya, itu sajian yang dikaji berdasarlan sumber-sumber lisan terutama masyarakat pedalaman tempat ide cerita. Naskah itu menggambarkan peran Tomalanggai dan Tadulako sebagai orang dekat raja. Suatu ketika raja memberikan penghargaan pada Tomalanggai karena dianggap berprestasi. Namun Tadulako merasa iri, dan singkat cerita, ada orang ketiga yang menghasut, maka terjadilah perseteruan yang mengakibatkan Tadulako mati.
Nah di situlah masalahnya! Padahal menurut Andi Hajidin alias Didin selaku Ketua Sigandia ketika itu, sama sekali tak ada maksud merendahkan Tadulako dalam cerita itu. Keduanya ditampilkan sebagai simbol tokoh untuk masyarakat, bahwa beginilah masalah yang sering kita hadapi.
Itu sebagian kecil sepakterjang sang seniman Kaili, yang kini tinggal kenangan menyusul Sjahrir Lawide seniman Kaili yang telah berpulang lebih awal tahun 2008 lalu. Di mata rekan-rekan seniman Kota Palu, “Dayat,” sapaan akrab almarhum sangat sederhana dan supel dalam pergaulan, tapi kritis terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada seniman dan budayawan.
Di antara kegiatan kesenian yang pernah diikuti di forum nasional, pertemuan seniman se-Indonesia di Solo tahun 1995 memperingati 50 Tahun Indonesia dan sekaligus mempresentasikan pertunjukan karya teater berjudul “Sando” dan menulis naskah Puisi Nyanyian Tolare untuk antologi karya puisi. Mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia di Kayutanam Sumatra Barat tahun 1997, Pertemuan Teater se-Indonesia di UGM Yogyakarta tahun 1999 sekaligus mempresentasikan karya teater berjudul Topebete.
Disamping sebagai penulis juga sempat terlibat bermain dalam Film Akhir Pekan tayangan TVRI Pusat Jakarta yang berjudul “Air Mata Ibu” produksi TVRI Ujung Pandang. Jadi pemeran dalam film pemula garapan Erwin Sirajudin berjudul Telunjuk Tak Berjiwa produksi Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (2002). Sebuah novel Randantovea telah ditulis tapi belum diterbitkan. Naskah tersebut dibuatkan pula dalam bentuk scenario film/sinetron tahun 1995 yang akan diproduksi TPI, namun tidak berlanjut disebabkan keterbatasan dana waktu itu.
Soal peningkatan kapasitas pengelolaan lembaga kesenian, almarhum pernah mengikuti Pelatihan Manajemen Seni Pertunjukan oleh Departemen Pariwisata dan Seni Budaya di Jakarta tahun 1998 dan masuk 10 besar. Sedangkan pertunjukan di Kota Palu tak terhitung dan sering menjadi pembicara dalam diskusi soal teater di Kota Palu yang kini tinggal kenangan manis.
Selamat jalan sang penyair “To Lare”, Hidayat Lembang. Insya Allah, jasamu akan menjadi rahmat di sisi-nya seperti yang engkau rindukan dalam bait puisimu Atas Nama; Aku sebut namaMu/ Dalam syalawatku/Dalam zikir dan tasbihku, Ya …. Allah/ Kaulah pejaga/Hidup dan matiku (1997).
(Jamrin Abubakar: Seorang pemerhati seni dan budaya di Kota Palu)
Langganan:
Postingan (Atom)