KABUPATEN Donggala sangat kaya dengan cerita rakyat atau legenda yang merupakan warisan leluhur, terutama adanya Pusentasi di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah.
Kampung tua yang pada zaman kerajaan dulu dikenal sebagai salah satu kota pitunggota Kerajaan Banawa itu sampai sekarang banyak memiliki potensi wisata pantai.
Menjangkau kampung tersebut sangatlah mudah, karena tempatnya berada hanya sekitar 13 km dari pusat Kota Donggala. Dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau bus, apalagi berada di lintasan Jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi Barat. Bagi orang yang berkunjung ke Towale, pasti merasakan suasana pedesaan yang bersahaja dengan keramahan penduduknya.
Di kampung ini pula terdapat banyak cerita legenda yang yang berkaitan dengan asal-usul dan kekerabatan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Tetapi sayang banyak yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku, manuskrif atau publikasi media massa, sehingga dikhawatirkan suatu saat terancam punah dan tidak lagi diketahui generasi muda mendatang. Penyebabnya, selain penuturnya berangsur-angsur berkurang, juga generasi mudanya tidak lagi menggandrungi tradisi tutura (tradisi bertutur).
Hal tersebut terungkap dalam penelusuran penulis dengan menemui sejumlah narasumber di Towale pekan ini. “Sebetulnya bukan hanya cerita legenda yang dikhawatirkan bakal punah, tapi juga bahasa Kaili dialek Doi di Banawa Tengah saat ini terancam punah, karena sudah banyak istilah yang tidak diketahui generasi muda,” kata Hamli Harape (71) seorang tokoh masyarakat Towale. Bagi masyarakat Kota Donggala, nama Towale tidaklah asing. Sebab kampung tersebut sangat dikenal sebagai salah satu penghasil ikan dan tempatnya para pengrajin kain sarung Donggala atau buya sabe.
Bahkan tak kalah popular dengan adanya obyek wisata Pusentasi atau lebih dikenal pusat laut yang eksotis. Selain itu Pusentasi memiliki cerita legenda yang menarik sebagai daya tarik untuk pengembangan wisata, cuma saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala selama ini belum mengekploitasi dari aspek sejarah budaya. Melainkan masih mengandalkan pada wisata alam pantai semata. Sehingga pihak Disbudpar lebih memprioritaskan pembangunan sarana wisata berupa cottage di kawasan Pusentasi, mengingat kawasan ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Kabupaten Donggala.
Padahal bila saja keaneka ragaman seni dan budaya di Towale dikelola, niscaya tidak membuat orang-orang tua khawatir budaya leluhurnya punah, termasuk soal bahasa daerah. Karena itu pula Hamli Harape yang pensiunan guru sekolah dasar ini berupaya mengumpulkan istilah bahsa Kaili dialek Doi, walaupun mengaku belum ada solusi akan dibawa kemana kalau tulisannya itu rampung. Yang pasti saat ini baru sekitar 2000-an kata yang terkumpul, dan dikerjakan secara pelan. “Ini suatu saat bisa dipelajari generasi muda, karena suatu saat bahasa Kaili bisa saja punah,” kata Hamli prihatin. Cerita yang Tersembunyi Soal cerita legenda di Towale, kata Hamli diakuinya cukup banyak. Di antaranya tentang Yamamore seorang gadis cantik yang melarikan diri, cerita tentang Karampuana, Bulava Mpongeo atau kucing emas dan berbagai cerita raja-raja.
Bahkan M Azwar M. Diah seorang seniman yang berprofesi guru di Towale, telah menampilkan sejumlah cerita legenda desa tersebut dalam bentuk seni pertunjukan monolog maupun dramaturgi. Terutama pada event pertunjukan mendongen di acara Pekan Budaya se-Sulawesi Tengah di Donggala, Parigi Moutong dan Tolitoli. “Semua cerita legenda yang saya angkat dalam pertunjukan drama merupakan hasil penelusuran saya berdasarkan sumber lontara berbahasa Bugis yang menceritakan tentang raja-raja Tanah Kaili,” kata Azwar soal sumber cerita legenda. Azwar asal Pare-Pare yang telah lama bermukim di Towale, memiliki kemahiran membaca lontara berbahasa Bugis. Kebetulan dari mertuanya memiliki koleksi lontara yang diwariskan turun-temurun, sehingga dari peninggalan itulah ia melakukan terjemahan ke dalam cerita yang kemudian dipentaskan.
“Cuma saja sayang dari berbagai cerita yang ada, ada kecenderungan orang menyembunyikan dan tak mau menyiarkan. Sebab masih ada anggapan kalau diungkap nanti diambil orang lain, dan membuat mereka jadi kaya. Sementara pemiliknya tidak dapat apa-apa,” ungkap Azwar soal ketertutupan sebagian warga. Adanya kecendrungan orang menyembunyikan cerita rakyat, bukan karena dianggap tabu. Melainkan masih adanya kecurigaan, kalau disebarkan oleh peneliti atau penulis lain, seakan tak ada manfaatnya bagi masyarakat. “Nah, itu jadi persoalan tersendiri.
Padahal soal cerita itu walau tersebar kan tidak lantas membuat orang yang menulis itu jadi kaya raya atau bagaimana. Itu hanya kecurigaan. Ya, apa boleh buat begitulah kenyataannya,” kata Azwar lagi. Akibat adanya ketertutupan tersebut, membuat Desa Towale yang eksotis dan kaya dengan legenda yang bisa diangkat ke forum nasional, akhirnya tersembunyi. Padahal legenda Yamamore dan Bulava Mpongeo misalnya tak kalah menariknya dengan sejumlah cerita rakyat di daerah lain yang cukup terkenal secara nasional. Padahal cerita legenda yang ada di Towale sangat menarik. Selain memiliki seting cerita yang berkaitan dengan lingkungan alam sekitar juga sarat dengan pesa-pesan kemanusiaan dan keadatan yang patut menjadi teladan bagi generasi muda.
Meskipun demikian, Azwar tetap berupaya mengumpulkan dan melakukan penulisan sejumlah cerita rakyat walau sebatas disimpan dalam rumah dengan harapan bila mendapat undangan pementasan, dengan mudah akan dibawakan. Karya-karya hasil eksploitasinya itu tak ada yang ditulis secara utuh, karena pihak keluarga tidak mendukung dan timbul kekhawatiran akan diambil orang lain. Sementara itu Hapri Ika Poigi, dosen Antropologi di FISIP Universitas Tadulako yang dimintai tanggapannya, menyatakan yang namanya cerita rakyat merupakan karya yang dapat dinikmati secara luas, bukan milik seseorang atau kelompok. Siapa saja berhak untuk mengetahui dan siapapun bisa menulisnya dalam bentuk karya tulis dengan berbagai gaya. Yang tidak bisa adalah mengklaim suatu cerita sebagai milik suatu kampung di luar yang tidak seharusnya.
“Adanya pemikiran yang curiga seakan orang akan mengambil suatu legenda dan membuat orang lain jadi kaya, itu pemikiran paradikma lama dan sangat keliru. Pemikiran semacam itu harus diubah, kalau tidak justru akan mengaburkan khazanah budaya daerah,” ungkap Hapri Ika Poigi di Palu. Karena itu tidaklah berlebihan kalau Towale dapat disebut salah satu kampung kaya legenda yang tersembunyi, walau sudah bersentuhan dengan modernisasi.* (JAMRIN ABUBAKAR)
Menjangkau kampung tersebut sangatlah mudah, karena tempatnya berada hanya sekitar 13 km dari pusat Kota Donggala. Dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau bus, apalagi berada di lintasan Jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi Barat. Bagi orang yang berkunjung ke Towale, pasti merasakan suasana pedesaan yang bersahaja dengan keramahan penduduknya.
Di kampung ini pula terdapat banyak cerita legenda yang yang berkaitan dengan asal-usul dan kekerabatan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Tetapi sayang banyak yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku, manuskrif atau publikasi media massa, sehingga dikhawatirkan suatu saat terancam punah dan tidak lagi diketahui generasi muda mendatang. Penyebabnya, selain penuturnya berangsur-angsur berkurang, juga generasi mudanya tidak lagi menggandrungi tradisi tutura (tradisi bertutur).
Hal tersebut terungkap dalam penelusuran penulis dengan menemui sejumlah narasumber di Towale pekan ini. “Sebetulnya bukan hanya cerita legenda yang dikhawatirkan bakal punah, tapi juga bahasa Kaili dialek Doi di Banawa Tengah saat ini terancam punah, karena sudah banyak istilah yang tidak diketahui generasi muda,” kata Hamli Harape (71) seorang tokoh masyarakat Towale. Bagi masyarakat Kota Donggala, nama Towale tidaklah asing. Sebab kampung tersebut sangat dikenal sebagai salah satu penghasil ikan dan tempatnya para pengrajin kain sarung Donggala atau buya sabe.
Bahkan tak kalah popular dengan adanya obyek wisata Pusentasi atau lebih dikenal pusat laut yang eksotis. Selain itu Pusentasi memiliki cerita legenda yang menarik sebagai daya tarik untuk pengembangan wisata, cuma saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala selama ini belum mengekploitasi dari aspek sejarah budaya. Melainkan masih mengandalkan pada wisata alam pantai semata. Sehingga pihak Disbudpar lebih memprioritaskan pembangunan sarana wisata berupa cottage di kawasan Pusentasi, mengingat kawasan ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Kabupaten Donggala.
Padahal bila saja keaneka ragaman seni dan budaya di Towale dikelola, niscaya tidak membuat orang-orang tua khawatir budaya leluhurnya punah, termasuk soal bahasa daerah. Karena itu pula Hamli Harape yang pensiunan guru sekolah dasar ini berupaya mengumpulkan istilah bahsa Kaili dialek Doi, walaupun mengaku belum ada solusi akan dibawa kemana kalau tulisannya itu rampung. Yang pasti saat ini baru sekitar 2000-an kata yang terkumpul, dan dikerjakan secara pelan. “Ini suatu saat bisa dipelajari generasi muda, karena suatu saat bahasa Kaili bisa saja punah,” kata Hamli prihatin. Cerita yang Tersembunyi Soal cerita legenda di Towale, kata Hamli diakuinya cukup banyak. Di antaranya tentang Yamamore seorang gadis cantik yang melarikan diri, cerita tentang Karampuana, Bulava Mpongeo atau kucing emas dan berbagai cerita raja-raja.
Bahkan M Azwar M. Diah seorang seniman yang berprofesi guru di Towale, telah menampilkan sejumlah cerita legenda desa tersebut dalam bentuk seni pertunjukan monolog maupun dramaturgi. Terutama pada event pertunjukan mendongen di acara Pekan Budaya se-Sulawesi Tengah di Donggala, Parigi Moutong dan Tolitoli. “Semua cerita legenda yang saya angkat dalam pertunjukan drama merupakan hasil penelusuran saya berdasarkan sumber lontara berbahasa Bugis yang menceritakan tentang raja-raja Tanah Kaili,” kata Azwar soal sumber cerita legenda. Azwar asal Pare-Pare yang telah lama bermukim di Towale, memiliki kemahiran membaca lontara berbahasa Bugis. Kebetulan dari mertuanya memiliki koleksi lontara yang diwariskan turun-temurun, sehingga dari peninggalan itulah ia melakukan terjemahan ke dalam cerita yang kemudian dipentaskan.
“Cuma saja sayang dari berbagai cerita yang ada, ada kecenderungan orang menyembunyikan dan tak mau menyiarkan. Sebab masih ada anggapan kalau diungkap nanti diambil orang lain, dan membuat mereka jadi kaya. Sementara pemiliknya tidak dapat apa-apa,” ungkap Azwar soal ketertutupan sebagian warga. Adanya kecendrungan orang menyembunyikan cerita rakyat, bukan karena dianggap tabu. Melainkan masih adanya kecurigaan, kalau disebarkan oleh peneliti atau penulis lain, seakan tak ada manfaatnya bagi masyarakat. “Nah, itu jadi persoalan tersendiri.
Padahal soal cerita itu walau tersebar kan tidak lantas membuat orang yang menulis itu jadi kaya raya atau bagaimana. Itu hanya kecurigaan. Ya, apa boleh buat begitulah kenyataannya,” kata Azwar lagi. Akibat adanya ketertutupan tersebut, membuat Desa Towale yang eksotis dan kaya dengan legenda yang bisa diangkat ke forum nasional, akhirnya tersembunyi. Padahal legenda Yamamore dan Bulava Mpongeo misalnya tak kalah menariknya dengan sejumlah cerita rakyat di daerah lain yang cukup terkenal secara nasional. Padahal cerita legenda yang ada di Towale sangat menarik. Selain memiliki seting cerita yang berkaitan dengan lingkungan alam sekitar juga sarat dengan pesa-pesan kemanusiaan dan keadatan yang patut menjadi teladan bagi generasi muda.
Meskipun demikian, Azwar tetap berupaya mengumpulkan dan melakukan penulisan sejumlah cerita rakyat walau sebatas disimpan dalam rumah dengan harapan bila mendapat undangan pementasan, dengan mudah akan dibawakan. Karya-karya hasil eksploitasinya itu tak ada yang ditulis secara utuh, karena pihak keluarga tidak mendukung dan timbul kekhawatiran akan diambil orang lain. Sementara itu Hapri Ika Poigi, dosen Antropologi di FISIP Universitas Tadulako yang dimintai tanggapannya, menyatakan yang namanya cerita rakyat merupakan karya yang dapat dinikmati secara luas, bukan milik seseorang atau kelompok. Siapa saja berhak untuk mengetahui dan siapapun bisa menulisnya dalam bentuk karya tulis dengan berbagai gaya. Yang tidak bisa adalah mengklaim suatu cerita sebagai milik suatu kampung di luar yang tidak seharusnya.
“Adanya pemikiran yang curiga seakan orang akan mengambil suatu legenda dan membuat orang lain jadi kaya, itu pemikiran paradikma lama dan sangat keliru. Pemikiran semacam itu harus diubah, kalau tidak justru akan mengaburkan khazanah budaya daerah,” ungkap Hapri Ika Poigi di Palu. Karena itu tidaklah berlebihan kalau Towale dapat disebut salah satu kampung kaya legenda yang tersembunyi, walau sudah bersentuhan dengan modernisasi.* (JAMRIN ABUBAKAR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar