Minggu, 11 September 2011

Towale dan Pusentasinya LEGENDA KAILI YANG TERSEMBUNYI

KABUPATEN Donggala sangat kaya dengan cerita rakyat atau legenda yang merupakan warisan leluhur, terutama adanya Pusentasi di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah. Kampung tua yang pada zaman kerajaan dulu dikenal sebagai salah satu kota pitunggota Kerajaan Banawa itu sampai sekarang banyak memiliki potensi wisata pantai.

Menjangkau kampung tersebut sangatlah mudah, karena tempatnya berada hanya sekitar 13 km dari pusat Kota Donggala. Dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau bus, apalagi berada di lintasan Jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi Barat. Bagi orang yang berkunjung ke Towale, pasti merasakan suasana pedesaan yang bersahaja dengan keramahan penduduknya.

Di kampung ini pula terdapat banyak cerita legenda yang yang berkaitan dengan asal-usul dan kekerabatan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Tetapi sayang banyak yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku, manuskrif atau publikasi media massa, sehingga dikhawatirkan suatu saat terancam punah dan tidak lagi diketahui generasi muda mendatang. Penyebabnya, selain penuturnya berangsur-angsur berkurang, juga generasi mudanya tidak lagi menggandrungi tradisi tutura (tradisi bertutur).

Hal tersebut terungkap dalam penelusuran penulis dengan menemui sejumlah narasumber di Towale pekan ini. “Sebetulnya bukan hanya cerita legenda yang dikhawatirkan bakal punah, tapi juga bahasa Kaili dialek Doi di Banawa Tengah saat ini terancam punah, karena sudah banyak istilah yang tidak diketahui generasi muda,” kata Hamli Harape (71) seorang tokoh masyarakat Towale. Bagi masyarakat Kota Donggala, nama Towale tidaklah asing. Sebab kampung tersebut sangat dikenal sebagai salah satu penghasil ikan dan tempatnya para pengrajin kain sarung Donggala atau buya sabe.

Bahkan tak kalah popular dengan adanya obyek wisata Pusentasi atau lebih dikenal pusat laut yang eksotis. Selain itu Pusentasi memiliki cerita legenda yang menarik sebagai daya tarik untuk pengembangan wisata, cuma saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala selama ini belum mengekploitasi dari aspek sejarah budaya. Melainkan masih mengandalkan pada wisata alam pantai semata. Sehingga pihak Disbudpar lebih memprioritaskan pembangunan sarana wisata berupa cottage di kawasan Pusentasi, mengingat kawasan ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Kabupaten Donggala.

Padahal bila saja keaneka ragaman seni dan budaya di Towale dikelola, niscaya tidak membuat orang-orang tua khawatir budaya leluhurnya punah, termasuk soal bahasa daerah. Karena itu pula Hamli Harape yang pensiunan guru sekolah dasar ini berupaya mengumpulkan istilah bahsa Kaili dialek Doi, walaupun mengaku belum ada solusi akan dibawa kemana kalau tulisannya itu rampung. Yang pasti saat ini baru sekitar 2000-an kata yang terkumpul, dan dikerjakan secara pelan. “Ini suatu saat bisa dipelajari generasi muda, karena suatu saat bahasa Kaili bisa saja punah,” kata Hamli prihatin. Cerita yang Tersembunyi Soal cerita legenda di Towale, kata Hamli diakuinya cukup banyak. Di antaranya tentang Yamamore seorang gadis cantik yang melarikan diri, cerita tentang Karampuana, Bulava Mpongeo atau kucing emas dan berbagai cerita raja-raja.

Bahkan M Azwar M. Diah seorang seniman yang berprofesi guru di Towale, telah menampilkan sejumlah cerita legenda desa tersebut dalam bentuk seni pertunjukan monolog maupun dramaturgi. Terutama pada event pertunjukan mendongen di acara Pekan Budaya se-Sulawesi Tengah di Donggala, Parigi Moutong dan Tolitoli. “Semua cerita legenda yang saya angkat dalam pertunjukan drama merupakan hasil penelusuran saya berdasarkan sumber lontara berbahasa Bugis yang menceritakan tentang raja-raja Tanah Kaili,” kata Azwar soal sumber cerita legenda. Azwar asal Pare-Pare yang telah lama bermukim di Towale, memiliki kemahiran membaca lontara berbahasa Bugis. Kebetulan dari mertuanya memiliki koleksi lontara yang diwariskan turun-temurun, sehingga dari peninggalan itulah ia melakukan terjemahan ke dalam cerita yang kemudian dipentaskan.

“Cuma saja sayang dari berbagai cerita yang ada, ada kecenderungan orang menyembunyikan dan tak mau menyiarkan. Sebab masih ada anggapan kalau diungkap nanti diambil orang lain, dan membuat mereka jadi kaya. Sementara pemiliknya tidak dapat apa-apa,” ungkap Azwar soal ketertutupan sebagian warga. Adanya kecendrungan orang menyembunyikan cerita rakyat, bukan karena dianggap tabu. Melainkan masih adanya kecurigaan, kalau disebarkan oleh peneliti atau penulis lain, seakan tak ada manfaatnya bagi masyarakat. “Nah, itu jadi persoalan tersendiri.

Padahal soal cerita itu walau tersebar kan tidak lantas membuat orang yang menulis itu jadi kaya raya atau bagaimana. Itu hanya kecurigaan. Ya, apa boleh buat begitulah kenyataannya,” kata Azwar lagi. Akibat adanya ketertutupan tersebut, membuat Desa Towale yang eksotis dan kaya dengan legenda yang bisa diangkat ke forum nasional, akhirnya tersembunyi. Padahal legenda Yamamore dan Bulava Mpongeo misalnya tak kalah menariknya dengan sejumlah cerita rakyat di daerah lain yang cukup terkenal secara nasional. Padahal cerita legenda yang ada di Towale sangat menarik. Selain memiliki seting cerita yang berkaitan dengan lingkungan alam sekitar juga sarat dengan pesa-pesan kemanusiaan dan keadatan yang patut menjadi teladan bagi generasi muda.

Meskipun demikian, Azwar tetap berupaya mengumpulkan dan melakukan penulisan sejumlah cerita rakyat walau sebatas disimpan dalam rumah dengan harapan bila mendapat undangan pementasan, dengan mudah akan dibawakan. Karya-karya hasil eksploitasinya itu tak ada yang ditulis secara utuh, karena pihak keluarga tidak mendukung dan timbul kekhawatiran akan diambil orang lain. Sementara itu Hapri Ika Poigi, dosen Antropologi di FISIP Universitas Tadulako yang dimintai tanggapannya, menyatakan yang namanya cerita rakyat merupakan karya yang dapat dinikmati secara luas, bukan milik seseorang atau kelompok. Siapa saja berhak untuk mengetahui dan siapapun bisa menulisnya dalam bentuk karya tulis dengan berbagai gaya. Yang tidak bisa adalah mengklaim suatu cerita sebagai milik suatu kampung di luar yang tidak seharusnya.

“Adanya pemikiran yang curiga seakan orang akan mengambil suatu legenda dan membuat orang lain jadi kaya, itu pemikiran paradikma lama dan sangat keliru. Pemikiran semacam itu harus diubah, kalau tidak justru akan mengaburkan khazanah budaya daerah,” ungkap Hapri Ika Poigi di Palu. Karena itu tidaklah berlebihan kalau Towale dapat disebut salah satu kampung kaya legenda yang tersembunyi, walau sudah bersentuhan dengan modernisasi.* (JAMRIN ABUBAKAR)

DONGGALA, KOTA TUA TAK PUNYA CAGAR BUDAYA!

DONGGALA, inilah kota tua yang tak punya cagar budaya yang mendapat pengakuan. Meskipun kenyataannya kalau mengacu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 maupun penggantinya yang terbaru UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, bila ditransformasikan dengan sejumlah tinggalan di Kota Donggala maka sebetulnya ada banyak. Cuma saja tidak mendapat respon hingga berangsur-angsur terbengkalai. Padahal salah satu visi pembangunan pemerintah menjadikan Donggala sebagai kota pariwisata dan budaya. Tetapi kenyataannya tak satu pun cagar budaya yang dikelola sebagai obyek wisata, sehingga wisatawan yang berkunjung hanya melihat tinggalan yang memprihatinkan. Sebutan Donggala kota tua sangatlah tepat. Hingga kini di berbagai kawasan kota masih mudah ditemui bangunan-bangunan tua peninggalan puluhan tahun silam, terutama bekas usaha perdagangan berupa kantor-kantor perusahan nasional dan daerah serta bekas gudang kopra. Selain itu terdapat pula beberapa rumah tua tak berpenghuni sisa kejayaan Donggala ketika aktivitas pelabuhan belum dipindahkan ke Pantoloan. Di antara bangunan-bangunan tua yang ada dapat diklasifikasikan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 maupun UU Nomor 11 Tahun 2010. Dalam UU tersebut disebutkan benda buatan manusia yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan. Beberapa pemerhati budaya dan sejarawan di Donggala berpendapat kalau merujuk nilai sejarah penting dan kekhasan bangunan, maka di Kota Donggala itulah pewrlu penyelamatanb cagar budaya yang kemudian bias diakui sebagai situs budaya. Menurut sejarawan Kota Donggala, Drs. Amiruddin Masri, M.Hum kalau tidak dari sekarang pemerintah Donggala bertindak cepat melakukan penyelamatan pelestarian situs sejarah dan budaya Kota Donggala, niscaya suatu saat akan habis terjual ataupun karena hancur. “Bagaimanan mungkin Donggala dikatakan kota pariwisata dan budaya kalau sarana obyek wisata berupa pengelolaan situs tidak ditangani sesuai yang diharapkan,” kata Amiruddin di Donggala. Menurut Amiruddin dari hasil penelusurannya, di Kota Donggala ada beberapa situs sejarah dan budaya yang menarik dikembangkan untuk kemajuan pariwisata. Di antaranya, situs jalan berundak-undak peninggalan colonial di Gunung Bale yang menarik direkonstruksi kembali, mengingat kondisinya saat ini mulai rusak. Kata Amiruddin jalan bertingkat-tingkat di sekitar lokasi SMP Negeri 1 Donggala itu memiliki nilai sejarah penting, karena merupakan jalan yang dibuat zaman pemerintahan Afdeling Donggala, ketika bangunan kantor pemerintah Belanda berada di Gunung Bale. Selain itu tak kalah pentingnya dilestarikan, yaitu Rumah Tua Donggala peninggalan abad ke 19 yang menjadi satu-satunya bangunan berarsitektur tradisional yang tersisa. Bangunan berbentuk rumah panggung tersebut terletak di sudut persimpangan Jalan Giliraja-Jalan Bioskop, Kelurahan Labuan Bajo-Boya ini merupakan rumah peninggalan saudagar Umar Haruna - Pua Sehang. Sehingga yang menempati rumah tersebut tinggal kerabat dan cucu Umar Haruna . “Ini satu-satunya rumah paling tua yang tersisa sepanjang saya tinggal di Donggala. Dulu ada banyak bangunan yang sama, tetapi kemudian dibom jepang dan Permesta, sehingga banyak yang rusak, sehingga hanya rumah tua di Labuan bajo ini yang tersisa sampai sekarang,” ungkap Ambo Adar (81 tahun) seorang saksi sejarah. Ambo Adar asal Mamuju, Sulawesi Barat tinggal di Donggala sejak tahun 1936, sehingga memahami betul bagaimana perkembangan sejarah Kota Donggala dari masa ke masa. Sementara itu Mahani Alatas sebagai penghuni rumah tua, mengaku sering didatangi tamu-tamu dari luar, terutama turis asing untuk melihat bangunan tua sambil memotret. “Bahkan pernah ada mahasiswa bermaksud melakukan penelitian tentang rumah ini, sebab selain dianggap antic juga punya sejarah panjang, sehingga selalu menarik perhatian orang yang baru datang berkunjung ke Donggala,” kata Mahani. Situs sejarah Kota Donggala tak kalah pentingnya yaitu bekas bangunan Bioskop Megaria yang telah ada sejak awal dekade 1950-an. Beberapa sumber yang dimintai pendapatnya, menyebutkan Megaria merupakan bangunan bioskop pertama yang ada di wilayah Sulawesi Tengah, sehingga memiliki nilai sejarah sangat penting. “Bahkan dari bangunan ini pula sejak lama bukan saja menjadi tempat pemutaran film, melainkan pernah pula menjadi tempat pertemuan para kader politik dan dari sini banyak lahir politisi,” kata Namrud Mado seorang politisi muda terkemuka di Kota Donggala. Sejak lesunya perfilman pertengahan 1990-an, maka sejak itu pula bangunan Bioskop Megaria yang sahamnya dimiliki beberapa orang tersebut, kemudian beralih fungsi jadi tempat tenis lapangan. Beberapa kali kegiatan kesenian yang digelar aktivis teater juga pernah menggunakan bekas bioskop ini berupa pertunjukan tahun 2006 lalu. “Bangunan ini termasuk cagar budaya dan sejarah sangat penting perlu dipelihara pemerintah sebagai salah satu kekayaan yang pernah mewarnai perkembangan kota tua Donggala,” kata Amiruddin. Kekhawatiran Amiruddin sebagai sejarawan sangatlah beralasan akan punahnya tinggalan-tinggalan sejarah di kota tua Donggala. Sebab salah satu bukti dua tahun silam, komplek pusat pergudangan kopra dari peninggalan colonial sudah beralih kepemilikan ke tangan seorang pengusaha. Bangunan berbentuk gelombang setengah lingkaran itu sebelum jatuh di tangan pengusaha, merupakan milik Pusat Koperasi Kopra Donggala (PKKD) Indonesia yang kantor pusatnya di jakarta, namun karena sudah tutup sehingga asetnya dijual. Kepala Dinas Kebudayaam dan Pariwisata Kabupaten Donggala, Himran Sukara yang pernah dimintai pendapat soal perlunya cagar budaya, mengakui kalau pihaknya akan mengupayakan soal ini. Bahkan beberapa waktu lalu telah membicarakan dengan stafnya untuk mengunjungi Rumah Tua Donggala untuk survey kemungkinan bisa dibicarakan dengan ahli waris bangunan. Cuma saja rencana tersebut belum juga terlaksana. Bisa jadi bangunan cagar budaya terlanjur tergadai atau rusak baru dilaksanakan. Gerakan lambat Pemkab Donggala ini sangatlah disesali para pemerhati budaya. (JAMRIN ABUBAKAR)

Kamis, 03 Maret 2011

Marhumah Daeng Ani Lamadjido IBU TELADAN YANG TERLUPAKAN DALAM KENANGAN

Oleh: Jamrin Abubakar BERPULANGNYA Hj. Marhumah Daeng Ani Lamadjido, Sabtu (26/2) di RS. Gading Pluit Jakarta, sebetulnya merupakan suatu kehilangan sosok seorang tokoh perempuan yang pernah dimiliki daerah Sulawesi Tengah. Keberadaannya tak bisa dipungkiri kalau Marhumah Daeng Ani memiliki peran penting sepanjang karier Abdul Azis Lamadjido sebagai suaminya. Mendampingi suami selama 58 tahun bukanlah waktu yang pendek, dan selama itu pula perempuan kelahiran Kota Donggala tahun 1933 telah mengabdikan separuh hidupnya untuk pembangunan Sulawesi Tengah. Perempuan melek pendidikan ini menyelesaikan sekolah dasar di kota kelahiran tahun 1950 yang kemudian meneruskan pendidikan SKP di Makassar hingga SMA. Mantan wartawan Mercusuar, Fredy Zainal Abidin dalam sebuah tulisannya (21 Oktober 1991), menggambarkan, Marhumah sulit mencari bandingannya sebagai pendamping suami dalam menjalankan tugas negara, mampu mengantar tujuh putra-putrinya menggapai masa depan. “Ia begitu sederhana tapi wawasan intelektual begitu melekat pada dirinya, meski ia sendiri bukan seorang yang berpendidikan sarjana. Sehingga perwujudannya dimanifestasikan kepada putra-putrinya yang semuanya menyelesaikan pendidikan formal tingkat sarjana,........” demikian Fredy menulis tentang sosok Marhumah ketika itu. Sebagai orang yang berpandangan maju, Marhumah memiliki banyak aktivitas saat remaja. Di antaranya pengurus Ikatan Persatuan pelajar Mahasiswa Kabupaten Donggala di Makassar dan aktif mengikuti pendidikan keterampilan kerajinan berupa menjahit, merangkai bunga, mengetik dan pelatihan perawatan keluarga. Semua itu menjadi tempaan yang kemudian menjadi bekal dalam aktifis organisasi, terutama pada saat mendampingu suami. Bagi sebagian anak-anak muda masa kini (termasuk aktivis yang selalu gencar menyuarakan tentang pemberdayaan perempuan), mungkin tidak begitu kenal dengan sosok Marhumah Dg Ani. Apalagi almarhumah selama satu dasawarsa lebih terakhir tidak pernah lagi tampil ke publik karena usia tua. Tapi bagi mereka yang sudah aktif di pemerintahan atau kegiatan sosial di Kota Palu sejak dekade 1970-an hingga awal 1990-an, pasti mengenal Marhumah Dg Ani yang era itu cukup memberi warna berbagai kegiatan sosial di masyarakat. Sebagai kenangan, secuil catatan penulis paparkan di sini buat pembaca. Sebab terlepas dari istri seorang pejabat penting, Marhumah tetaplah seorang yang pada masanya memiliki peran penting di Sulawesi Tengah dalam soal mendorong dan pemberdayaan kaum perempuan di bidang kerajina dan seni budaya, di antara yang menonjol dari sekian aktivitasnya. Sekali lagi, semata sebagai istri Abdul Azis Lamadjido tokoh birokrat dan politisi yang pernah menjadi Jaksa, Bupati Donggala dan Gubernur Sulteng dua periode, tapi Marhumah adalah sosok yang peduli pada kaumnya. Keluarga Sarjana Di tengah kesibukannya sebagai istri pejabat yang memiliki aktivitas di masyarakat, tetap memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Sebagai ibu yang menjadi motivator, ia buktikan sebagai ibu yang tegar dan jadi teladan, dengan sukses mendidik tujuh orang putra-putrinya menjadi sarjana. “Ibu itu meskipun sangat sibuk dengan berbagai kegiatan dalam organisasi sosial maupun Dahrmawanita dan mendampingi Bapak (Azis Lamadjido), perhatiannya pada anak-anak itu luar biasa. Pokoknya tugas pokoknya sebagai ibu tidak pernah dia lalaikan,” ungkap dr. Riry A. Lamadjido suatu ketika. Riri Lamadjido merupakan anak sulung yang berhasil menjadi dokter ahli spesial anak. Demikian pula adiknya Reny A Lamadjido juga meniti karier sebagai dokter yang kini menjabat Direktur RS Anutapura Palu. Riry sendiri pernah menjabat sebagai Direktur RSU Undata Palu. Sedangkan seorang lagi anak perempuannya bergelar doktoranda (dra) Remy Azmarny. Dari empat putranya, seorang yang jadi sarjana hukum yaitu Ruly A. Lamadjido (mantan Walikota Palu/Wakil Gubernur). Sedangkan tiga lainnya bergelar insinyur. Yaitu Rendy A. Lamadjido (anggota DPR RI), Safruddin A. Lamdjido mantan Kepala Cabang PLN Palu dan Burhanuddin Lamadjido yang akrab disapa Robby yang pernah mendpat beasiswa untuk studi ke Amerika. Dalam latar belakang sosial keluarga Marhumah adalah dari kaum bangsawan asal Makassar sebagaimana pernah diutarakan Masyhuddin Masyhuda (almarhum) pada penulis. Namun ia termasuk orang yang sangat moderat dan memiliki keterbukaan dalam soal menerima lamaran Abdul Azis Lamadjido di Makasaar pada masanya. Padahal pada masa itu (50-an hingga 70-an) masih ada anggapan sebagian orangtua di Makassar yang menganggap orang-orang dari Palu (Kaili) itu bagian dari orang Toraja, sehingga tidak mau mengawinkan anaknya. “Di antara seangkatan kami yang kuliah di Makassar dan berhasil melaksanakan perkawinan dengan orang Makassar, ya itu Pak Azis Lamadjido dengan Marhumah Dg Ani. Karena Marhuma itu merupakan orang yang tegas dan berpendirian dan keduanya bertekad,” kata Masyhuddin suatu ketika. Itu hanyalah sedikit gambaran romantisme pada Marhumah. Romantisme itu kadang pula ada yang mengamsalkan pasangan Abdul Azis Lamadjido-Marhuma Dg Ani yang awet dan serasi itu bagai Soeharto-Ibu Tien Soeharto. Namun yang menarik diutarakan, walau tidak begitu banyak yang penulis ketahui, tapi setidaknya dari kesaksian penuis pada masanya, dari berbagai peran dan aktivitas yang pernah dijalani Marhumah. Patut menjadi kenangan dan patut diketahui generasi masa kini, karena keteladananya kini terlupakan. Bidang kesenian Di bidang seni budaya, Marhumah Daeng Ani memiliki andil terutama mendorong dan memfasilitasi dalam mempopulerkan kesenian daerah Kaili. Sejumlah lagu ciptaan komponis Kaili Hasan Bahasyuan yang kemudian direkam di Makassar yang salah satu penyanyinya adalah Riry A. Lamadjido. Peran Marhumah yang berjiwa seni itu sebagai salah satu motivator yang kemudian darah seninya mengalir ke anak-anaknya. Demikian halnya mempopulerkan tenun Donggala di forum nasional lewat sejumlah pameran termasuk di TMII Jakarta, Daeng Ani sangat aktif. Sebaliknya memiliki perhatian khusus pada para perajin dengan melakukan pembinaan. Bahkan menurut cerita Ina Soho salah satu mantan perajin sarung Donggala di Kelurahan Tipo, Kecamatan Palu Barat pernah menceritakan pada penulis, Marhumah Daeng Ani sering membeli hasil kerajinannya tahun 1980-an. Bahkan ditukarkan dengan peralatan seperangkat alat musik kakula (gamelang). “Kebetulan selain jadi perajin sarung Donggala, saya juga pemain kakula namun suatu waktu alat saya sudah rusak, sehingga Ibu Azis Lamadjido (Marhumah) berinisiatif membelikan untuk kemudian ditukarkan dengan sarung,” cerita Ina Soho. Kecintaan di bidang seni kerajinan merupakan salah satu upaya memajukan kreativitas para perajin dengan membantu peralatan seperti yang dilakukan pada Ina Soho, tidak semata membayar dengan uang, melainkan saling membantu untuk terpenuhiya kebutuhan seniman maupun. Demikian sedikit kenangan terhadap Marhumah Dg Ani. Apa yang telah diperbuatnya, merupakan jasa-jasa yang tak ternilai, sekaligus menjadi ibadahnya. Almarhuma dimakamkan di Pekuburan Pogego, Palu, Ahad (27/2). Selamat jalan ibu teladan. (JAMRIN ABUBAKAR)

Minggu, 13 Februari 2011

MENGGUGAT KEBUDAYAAN TADULAKO DAN DERO POSO (Dalam Proses untuk Penerbitan)

APA dan siapa sebenarnya Tadulako? Benarkah dia seorang hero dari zaman megalitikum yang jago perang, tapi akhirnya mati tragis di tangan kekasih yang dikhianatinya? Kenapa kemudian terjadi kontroversi yang melibatkan tokoh-tokoh intelektual tentang perlu dan tidaknya dibentuk “Kebudayaan Tadulako” di Sulawesi Tengah? Buku ini akan menjawab sekaligus menjadi catatan awal tentang mitologi Tadulako yang menjadi simbol perekat sosial budaya sejumlah etnis di Sulawesi Tengah. Dan ada masa tertentu tarian pergaulan (Dero) dari Poso dibenci dan dirindu, tapi kenapa politisi “demam dero?”

Rabu, 19 Januari 2011

CERITA LEGENDA YANG TERPENDAM DARI SULAWESI TENGAH

RINGKASAN CERITA

1. TERJADINYA LEMBAH PALU: Pertarungan belut raksasa (Lindu) dengan anjing Labolong milik pelaut Sawerigading mengakibatkan gempa bumi dahsyat. Banjir bah dan tanah longsor menutupi teluk Kaili menjadi lembah. Sedangkan kedua binatang itu mati dan hayut terbawa banjir dengan bekas yang dilalui menjadi Sungai Palu.


2. LEGENDA BENGGA BULA: Putri cantik raja Kaili terpaksa diasingkan karena tertular penyakit cacar di seluruh tubuhnya. Dalam pengasingan itu, ia dijilat Bengga Bula (kerbau butih) sehingga bisa sembuh. Sejak itulah sebagian suku Kaili pantang mengkonsumsi daging kerbau putih, karena takut melanggar sumpah leluhurnya.


3. LEGENDA PUTRI YAMAMORE DI PUSENTASI: Yamamore putri seorang Raja Towale melarikan diri dari istana demi menghindari perkawinan paksa. Dalam pelariannya, ia bersembunyi dengan cara mencemplungkan diri ke dalam telaga air asin. Maka sejak itulah Yamamore menghilang dan tempatnya dinamai pusat laut atau Pusentasi.

4. LEGENDA DANAU DAMPELAS: Berawal dari keinginan Sang Pelaut menaklukkan Negeri Dampelas, akhirnya terjadi perlawanan dari Mahadia. Peperangan pun terjadi hingga telaga yang dijadikan area pertarungan kemudian menjadi Danau Dampelas di Desa Talaga.


RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Jamrin Abubakar: 
Seorang penulis masalah seni dan budaya dengan aktivitas di Kota Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Lahir di Desa Kombo, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Universitas Tadulako, FISIP Jurusan Sosiologi. Memulai kariernya tahun 1990 dengan mempublikasikan artikel di surat kabar terbitan Kota Palu dan beberapa tulisan dimuat media terbitan Jakarta. Di antara bukunya yang diterbitkan; Wajah Kesusastraan Indonesia di Palu, stensilan (1995), Mengenal Khazanah Budaya dan Masyarakat Lembah Palu (1999), Orang Kaili Gelisah Catatan Kecil Seorang Wartawan (2010), Menggugat Kebudayaan Tadulako dan Dero Poso (2011) dalam prosespersiapan. Saat ini sedang menulis beberapa buku yang berkaitan dengan Sulawesi Tengah. E-mail:nosintora@yahoo.co.id, palupustaka@yahoo.co.id. Facebook: Jamrin Abubakar. Blog:jamrindonggala.blogspot.com,catatanjamrin.blogspot.com, kompasiana.com/jamrin_abubakar. HP: 081354535777