Minggu, 11 September 2011

Towale dan Pusentasinya LEGENDA KAILI YANG TERSEMBUNYI

KABUPATEN Donggala sangat kaya dengan cerita rakyat atau legenda yang merupakan warisan leluhur, terutama adanya Pusentasi di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah. Kampung tua yang pada zaman kerajaan dulu dikenal sebagai salah satu kota pitunggota Kerajaan Banawa itu sampai sekarang banyak memiliki potensi wisata pantai.

Menjangkau kampung tersebut sangatlah mudah, karena tempatnya berada hanya sekitar 13 km dari pusat Kota Donggala. Dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau bus, apalagi berada di lintasan Jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi Barat. Bagi orang yang berkunjung ke Towale, pasti merasakan suasana pedesaan yang bersahaja dengan keramahan penduduknya.

Di kampung ini pula terdapat banyak cerita legenda yang yang berkaitan dengan asal-usul dan kekerabatan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Tetapi sayang banyak yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku, manuskrif atau publikasi media massa, sehingga dikhawatirkan suatu saat terancam punah dan tidak lagi diketahui generasi muda mendatang. Penyebabnya, selain penuturnya berangsur-angsur berkurang, juga generasi mudanya tidak lagi menggandrungi tradisi tutura (tradisi bertutur).

Hal tersebut terungkap dalam penelusuran penulis dengan menemui sejumlah narasumber di Towale pekan ini. “Sebetulnya bukan hanya cerita legenda yang dikhawatirkan bakal punah, tapi juga bahasa Kaili dialek Doi di Banawa Tengah saat ini terancam punah, karena sudah banyak istilah yang tidak diketahui generasi muda,” kata Hamli Harape (71) seorang tokoh masyarakat Towale. Bagi masyarakat Kota Donggala, nama Towale tidaklah asing. Sebab kampung tersebut sangat dikenal sebagai salah satu penghasil ikan dan tempatnya para pengrajin kain sarung Donggala atau buya sabe.

Bahkan tak kalah popular dengan adanya obyek wisata Pusentasi atau lebih dikenal pusat laut yang eksotis. Selain itu Pusentasi memiliki cerita legenda yang menarik sebagai daya tarik untuk pengembangan wisata, cuma saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala selama ini belum mengekploitasi dari aspek sejarah budaya. Melainkan masih mengandalkan pada wisata alam pantai semata. Sehingga pihak Disbudpar lebih memprioritaskan pembangunan sarana wisata berupa cottage di kawasan Pusentasi, mengingat kawasan ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Kabupaten Donggala.

Padahal bila saja keaneka ragaman seni dan budaya di Towale dikelola, niscaya tidak membuat orang-orang tua khawatir budaya leluhurnya punah, termasuk soal bahasa daerah. Karena itu pula Hamli Harape yang pensiunan guru sekolah dasar ini berupaya mengumpulkan istilah bahsa Kaili dialek Doi, walaupun mengaku belum ada solusi akan dibawa kemana kalau tulisannya itu rampung. Yang pasti saat ini baru sekitar 2000-an kata yang terkumpul, dan dikerjakan secara pelan. “Ini suatu saat bisa dipelajari generasi muda, karena suatu saat bahasa Kaili bisa saja punah,” kata Hamli prihatin. Cerita yang Tersembunyi Soal cerita legenda di Towale, kata Hamli diakuinya cukup banyak. Di antaranya tentang Yamamore seorang gadis cantik yang melarikan diri, cerita tentang Karampuana, Bulava Mpongeo atau kucing emas dan berbagai cerita raja-raja.

Bahkan M Azwar M. Diah seorang seniman yang berprofesi guru di Towale, telah menampilkan sejumlah cerita legenda desa tersebut dalam bentuk seni pertunjukan monolog maupun dramaturgi. Terutama pada event pertunjukan mendongen di acara Pekan Budaya se-Sulawesi Tengah di Donggala, Parigi Moutong dan Tolitoli. “Semua cerita legenda yang saya angkat dalam pertunjukan drama merupakan hasil penelusuran saya berdasarkan sumber lontara berbahasa Bugis yang menceritakan tentang raja-raja Tanah Kaili,” kata Azwar soal sumber cerita legenda. Azwar asal Pare-Pare yang telah lama bermukim di Towale, memiliki kemahiran membaca lontara berbahasa Bugis. Kebetulan dari mertuanya memiliki koleksi lontara yang diwariskan turun-temurun, sehingga dari peninggalan itulah ia melakukan terjemahan ke dalam cerita yang kemudian dipentaskan.

“Cuma saja sayang dari berbagai cerita yang ada, ada kecenderungan orang menyembunyikan dan tak mau menyiarkan. Sebab masih ada anggapan kalau diungkap nanti diambil orang lain, dan membuat mereka jadi kaya. Sementara pemiliknya tidak dapat apa-apa,” ungkap Azwar soal ketertutupan sebagian warga. Adanya kecendrungan orang menyembunyikan cerita rakyat, bukan karena dianggap tabu. Melainkan masih adanya kecurigaan, kalau disebarkan oleh peneliti atau penulis lain, seakan tak ada manfaatnya bagi masyarakat. “Nah, itu jadi persoalan tersendiri.

Padahal soal cerita itu walau tersebar kan tidak lantas membuat orang yang menulis itu jadi kaya raya atau bagaimana. Itu hanya kecurigaan. Ya, apa boleh buat begitulah kenyataannya,” kata Azwar lagi. Akibat adanya ketertutupan tersebut, membuat Desa Towale yang eksotis dan kaya dengan legenda yang bisa diangkat ke forum nasional, akhirnya tersembunyi. Padahal legenda Yamamore dan Bulava Mpongeo misalnya tak kalah menariknya dengan sejumlah cerita rakyat di daerah lain yang cukup terkenal secara nasional. Padahal cerita legenda yang ada di Towale sangat menarik. Selain memiliki seting cerita yang berkaitan dengan lingkungan alam sekitar juga sarat dengan pesa-pesan kemanusiaan dan keadatan yang patut menjadi teladan bagi generasi muda.

Meskipun demikian, Azwar tetap berupaya mengumpulkan dan melakukan penulisan sejumlah cerita rakyat walau sebatas disimpan dalam rumah dengan harapan bila mendapat undangan pementasan, dengan mudah akan dibawakan. Karya-karya hasil eksploitasinya itu tak ada yang ditulis secara utuh, karena pihak keluarga tidak mendukung dan timbul kekhawatiran akan diambil orang lain. Sementara itu Hapri Ika Poigi, dosen Antropologi di FISIP Universitas Tadulako yang dimintai tanggapannya, menyatakan yang namanya cerita rakyat merupakan karya yang dapat dinikmati secara luas, bukan milik seseorang atau kelompok. Siapa saja berhak untuk mengetahui dan siapapun bisa menulisnya dalam bentuk karya tulis dengan berbagai gaya. Yang tidak bisa adalah mengklaim suatu cerita sebagai milik suatu kampung di luar yang tidak seharusnya.

“Adanya pemikiran yang curiga seakan orang akan mengambil suatu legenda dan membuat orang lain jadi kaya, itu pemikiran paradikma lama dan sangat keliru. Pemikiran semacam itu harus diubah, kalau tidak justru akan mengaburkan khazanah budaya daerah,” ungkap Hapri Ika Poigi di Palu. Karena itu tidaklah berlebihan kalau Towale dapat disebut salah satu kampung kaya legenda yang tersembunyi, walau sudah bersentuhan dengan modernisasi.* (JAMRIN ABUBAKAR)

DONGGALA, KOTA TUA TAK PUNYA CAGAR BUDAYA!

DONGGALA, inilah kota tua yang tak punya cagar budaya yang mendapat pengakuan. Meskipun kenyataannya kalau mengacu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 maupun penggantinya yang terbaru UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, bila ditransformasikan dengan sejumlah tinggalan di Kota Donggala maka sebetulnya ada banyak. Cuma saja tidak mendapat respon hingga berangsur-angsur terbengkalai. Padahal salah satu visi pembangunan pemerintah menjadikan Donggala sebagai kota pariwisata dan budaya. Tetapi kenyataannya tak satu pun cagar budaya yang dikelola sebagai obyek wisata, sehingga wisatawan yang berkunjung hanya melihat tinggalan yang memprihatinkan. Sebutan Donggala kota tua sangatlah tepat. Hingga kini di berbagai kawasan kota masih mudah ditemui bangunan-bangunan tua peninggalan puluhan tahun silam, terutama bekas usaha perdagangan berupa kantor-kantor perusahan nasional dan daerah serta bekas gudang kopra. Selain itu terdapat pula beberapa rumah tua tak berpenghuni sisa kejayaan Donggala ketika aktivitas pelabuhan belum dipindahkan ke Pantoloan. Di antara bangunan-bangunan tua yang ada dapat diklasifikasikan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 maupun UU Nomor 11 Tahun 2010. Dalam UU tersebut disebutkan benda buatan manusia yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dankebudayaan. Beberapa pemerhati budaya dan sejarawan di Donggala berpendapat kalau merujuk nilai sejarah penting dan kekhasan bangunan, maka di Kota Donggala itulah pewrlu penyelamatanb cagar budaya yang kemudian bias diakui sebagai situs budaya. Menurut sejarawan Kota Donggala, Drs. Amiruddin Masri, M.Hum kalau tidak dari sekarang pemerintah Donggala bertindak cepat melakukan penyelamatan pelestarian situs sejarah dan budaya Kota Donggala, niscaya suatu saat akan habis terjual ataupun karena hancur. “Bagaimanan mungkin Donggala dikatakan kota pariwisata dan budaya kalau sarana obyek wisata berupa pengelolaan situs tidak ditangani sesuai yang diharapkan,” kata Amiruddin di Donggala. Menurut Amiruddin dari hasil penelusurannya, di Kota Donggala ada beberapa situs sejarah dan budaya yang menarik dikembangkan untuk kemajuan pariwisata. Di antaranya, situs jalan berundak-undak peninggalan colonial di Gunung Bale yang menarik direkonstruksi kembali, mengingat kondisinya saat ini mulai rusak. Kata Amiruddin jalan bertingkat-tingkat di sekitar lokasi SMP Negeri 1 Donggala itu memiliki nilai sejarah penting, karena merupakan jalan yang dibuat zaman pemerintahan Afdeling Donggala, ketika bangunan kantor pemerintah Belanda berada di Gunung Bale. Selain itu tak kalah pentingnya dilestarikan, yaitu Rumah Tua Donggala peninggalan abad ke 19 yang menjadi satu-satunya bangunan berarsitektur tradisional yang tersisa. Bangunan berbentuk rumah panggung tersebut terletak di sudut persimpangan Jalan Giliraja-Jalan Bioskop, Kelurahan Labuan Bajo-Boya ini merupakan rumah peninggalan saudagar Umar Haruna - Pua Sehang. Sehingga yang menempati rumah tersebut tinggal kerabat dan cucu Umar Haruna . “Ini satu-satunya rumah paling tua yang tersisa sepanjang saya tinggal di Donggala. Dulu ada banyak bangunan yang sama, tetapi kemudian dibom jepang dan Permesta, sehingga banyak yang rusak, sehingga hanya rumah tua di Labuan bajo ini yang tersisa sampai sekarang,” ungkap Ambo Adar (81 tahun) seorang saksi sejarah. Ambo Adar asal Mamuju, Sulawesi Barat tinggal di Donggala sejak tahun 1936, sehingga memahami betul bagaimana perkembangan sejarah Kota Donggala dari masa ke masa. Sementara itu Mahani Alatas sebagai penghuni rumah tua, mengaku sering didatangi tamu-tamu dari luar, terutama turis asing untuk melihat bangunan tua sambil memotret. “Bahkan pernah ada mahasiswa bermaksud melakukan penelitian tentang rumah ini, sebab selain dianggap antic juga punya sejarah panjang, sehingga selalu menarik perhatian orang yang baru datang berkunjung ke Donggala,” kata Mahani. Situs sejarah Kota Donggala tak kalah pentingnya yaitu bekas bangunan Bioskop Megaria yang telah ada sejak awal dekade 1950-an. Beberapa sumber yang dimintai pendapatnya, menyebutkan Megaria merupakan bangunan bioskop pertama yang ada di wilayah Sulawesi Tengah, sehingga memiliki nilai sejarah sangat penting. “Bahkan dari bangunan ini pula sejak lama bukan saja menjadi tempat pemutaran film, melainkan pernah pula menjadi tempat pertemuan para kader politik dan dari sini banyak lahir politisi,” kata Namrud Mado seorang politisi muda terkemuka di Kota Donggala. Sejak lesunya perfilman pertengahan 1990-an, maka sejak itu pula bangunan Bioskop Megaria yang sahamnya dimiliki beberapa orang tersebut, kemudian beralih fungsi jadi tempat tenis lapangan. Beberapa kali kegiatan kesenian yang digelar aktivis teater juga pernah menggunakan bekas bioskop ini berupa pertunjukan tahun 2006 lalu. “Bangunan ini termasuk cagar budaya dan sejarah sangat penting perlu dipelihara pemerintah sebagai salah satu kekayaan yang pernah mewarnai perkembangan kota tua Donggala,” kata Amiruddin. Kekhawatiran Amiruddin sebagai sejarawan sangatlah beralasan akan punahnya tinggalan-tinggalan sejarah di kota tua Donggala. Sebab salah satu bukti dua tahun silam, komplek pusat pergudangan kopra dari peninggalan colonial sudah beralih kepemilikan ke tangan seorang pengusaha. Bangunan berbentuk gelombang setengah lingkaran itu sebelum jatuh di tangan pengusaha, merupakan milik Pusat Koperasi Kopra Donggala (PKKD) Indonesia yang kantor pusatnya di jakarta, namun karena sudah tutup sehingga asetnya dijual. Kepala Dinas Kebudayaam dan Pariwisata Kabupaten Donggala, Himran Sukara yang pernah dimintai pendapat soal perlunya cagar budaya, mengakui kalau pihaknya akan mengupayakan soal ini. Bahkan beberapa waktu lalu telah membicarakan dengan stafnya untuk mengunjungi Rumah Tua Donggala untuk survey kemungkinan bisa dibicarakan dengan ahli waris bangunan. Cuma saja rencana tersebut belum juga terlaksana. Bisa jadi bangunan cagar budaya terlanjur tergadai atau rusak baru dilaksanakan. Gerakan lambat Pemkab Donggala ini sangatlah disesali para pemerhati budaya. (JAMRIN ABUBAKAR)