Rabu, 24 November 2010

HIDAYAT LEMBANG: PENYAIR TOLARE ITU TELAH TIADA


In Memoriam

 
Oleh: Jamrin Abubakar


Di saat sebagian generasi muda tak bangga dengan adat dan tradisi Kaili yang terus tergerus zaman, justru sebaliknya seorang Hidayat Lembang menyatakan kebanggaan. Pernyataan itu dia ungkapkan dalam puisi-puisi berbahasa Kaili dan bahasa Indonesia serta bentuk  seni pertunjukan tradisi maupun kontemporer yang berakar dari kebudayaan Kaili.

Sebutan diskriminatif To Lare bagi suku Kaili yang termarginalkan di lereng-pegunungan, menjadi inspirasi bagi Hidayat Lembang melahirkan puisi-puisi keprihatinan bernada kritis pada soal kebijakan pemerintah yang kurang berpihak, namun dengan cara lembut. Sekaligus menggugah pembaca untuk bersimpatik pada kaum marginal seperti dalam puisi To Kaili Sangaku dan beberapa puisi bertema Tolare (Nyanyian Tolare) yang telah menjadi brand  “Penyair Tolare”  pada sosok Hidayat. Di antara karya-karya puisinya itu dimuat dalam buku Lelerai sebuah antologi bersama diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu (2005) dan Panembulu Antologi Puisi Berbahasa Kaili  diterbitkan Dewan Kesenian Palu (2006).

Tetapi kini sosok “kontroversi” yang dikenal berani mengeksplorasi tradisi Kaili dalam karya seni itu, telah tiada. Hidayat Lembang seniman sejati yang mendapat kepercayaan menjadi Kepala Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru sejak tahun 2008 lalu itu  telah berpulang ke Rahmatullah menjelang dinihari Jumat (19 November 2010). Innalillahi Wa Inna Ilahi Rojiun.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Hidayat yang dikenal mudah akrab bagi siapa saja itu telah menderita sakit komplikasi tiga  bulan terakhir. Namun raganya tak kuasa lagi bertahan, sehingga sang Khalik pun menjemputnya. Terlepas dari sosoknya yang kadang “slebor,” tapi namanya telah menjadi bagian catatan perkembangan kesenian di Tanah Kaili khususnya di Kota Palu.

Keberagaman tradisi kebudayaan Kaili sekalipun dimitoskan dan kadang dianggap tabu untuk diutak-atik, seorang Hidayat dengan kreativitas melakukan eksploitasi bisa menarik sebagai karya seni. Meskipun dianggap kontroversi, karena beberapa pertunjukan yang dihasilkan tak lazim dari sebuah pakem yang disakralkan dalam tradisi yang melegenda. Namun demikian telah menjadi pendobrak dengan cara mengajak (komunitas seni) berpikir kembali sesuatu yang telah terlanjur ditabukan.

Sosok Hidayat Lembang adalah seorang seniman aktor, penulis, sutradara teater dan dikenal sebagai salah satu di antara sedikit penyair Kaili. Lahir di Sabang, 26 Maret 1965 dan total bermukim di Desa Mpanau yang kemudian di situ pula ia mendapat kepercayaan jadi Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Mpanau, Sigi Biromaru dan Sekertaris Majelis Adat Kecamatan Sigi Biromaru hingga terpilih sebagai Kepala Desa Mpanau sejak tahun 2008.

Selain itu pernah menjadi aktivis LSM Yayasan Rosontapura Palu,  pengurus Panti Asuhan Karya Muslim Kelurahan Petobo, Palu Selatan dan pernah  terlibat dalam kepengurusan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah dan Dewan Kesenian Palu. Mencintai kesenian dan berkarya di bidang sastra/teater sejak dari bangku SLTP di Biromaru. Karya-karya puisinya disatukan dalam kumpulan Nyanyian Tolare, tapi belum dipublikasikan secara resmi, kecuali beberapa puisi dalam buku Lelerai sebuah antologi bersama diterbitkan Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST) tahun 1997, Suara Jiwa Antologi Puisi Penyair Palu (2005) dan Panembulu Antologi Puisi Berbahasa Kaili (2006) diterbitkan Dewan Kesenian Palu.

Sedangkan puluhan lainnya termasuk syair-syair lagu Kaili dalam Siga Lei belum terbit, sehingga banyak yang tercecer. Disamping karya puisi, menulis naskah-naskah teater tradisional yang ditampilkan dalam berbagai pergelaran, antara lain; Pue Langga, Randa Ntovea, Sando, Kerajaan Uwentira,  Topobete, Toma Langgai, Tandavula, Ombo, Perang Tadulako dan Tomalanggai, Tanda Vula, Benggabula, Iyojo nte Idei dan naskah TV yang berjudul “Tadulako Nu Bulili” yang pernah ditayangkan TVRI Pusat Jakarta pada tahun 1989.

Karya Terlarang
Salah satu naskah teaternya yang berujung kontroversi berjudul Tomalanggai tahun 1995 saat akan dipentaskan Teater Sigandia di Taman Budaya Sulteng  mendapat penolakan dari pihak Taman Budaya Sulteng. Alasan pihak Taman Budaya tidak lazim dan mempertentangkan dengan tokoh yang selama ini diagungkan (Tadulako), sehingga dikhawatirkan menimbulkan teguran keras dari pemerintah yang saat itu “rajin”  menyensor setiap naskah yang akan dipentaskan.

Padahal naskah Tomalanggai, menurut penulisnya, itu sajian yang dikaji berdasarlan sumber-sumber lisan terutama masyarakat pedalaman tempat ide cerita. Naskah itu menggambarkan peran Tomalanggai dan Tadulako sebagai orang dekat raja. Suatu ketika raja memberikan penghargaan pada Tomalanggai karena dianggap berprestasi. Namun Tadulako merasa iri, dan singkat cerita, ada orang ketiga yang menghasut, maka terjadilah perseteruan yang mengakibatkan Tadulako mati.

Nah di situlah masalahnya! Padahal menurut Andi Hajidin alias Didin selaku  Ketua Sigandia ketika itu, sama sekali tak ada maksud merendahkan Tadulako dalam cerita itu.  Keduanya ditampilkan sebagai simbol tokoh untuk masyarakat, bahwa beginilah masalah yang sering kita hadapi.

Itu sebagian kecil sepakterjang sang seniman Kaili, yang kini tinggal kenangan menyusul Sjahrir Lawide seniman Kaili yang telah berpulang lebih awal tahun 2008 lalu. Di mata rekan-rekan seniman Kota Palu, “Dayat,” sapaan akrab almarhum sangat sederhana dan supel dalam pergaulan, tapi kritis terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada seniman dan budayawan.

Di antara kegiatan kesenian yang pernah diikuti di forum nasional, pertemuan seniman se-Indonesia di Solo tahun 1995 memperingati 50 Tahun Indonesia dan sekaligus mempresentasikan pertunjukan karya teater berjudul “Sando” dan menulis naskah Puisi Nyanyian Tolare untuk antologi karya puisi. Mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia di Kayutanam Sumatra Barat tahun 1997, Pertemuan Teater se-Indonesia di UGM Yogyakarta tahun 1999 sekaligus mempresentasikan karya teater berjudul Topebete.

Disamping sebagai penulis juga sempat terlibat bermain dalam Film Akhir Pekan tayangan TVRI Pusat Jakarta yang berjudul  “Air Mata Ibu” produksi TVRI Ujung Pandang. Jadi pemeran dalam film pemula garapan Erwin Sirajudin berjudul Telunjuk Tak Berjiwa produksi Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (2002). Sebuah novel Randantovea telah ditulis tapi belum diterbitkan. Naskah tersebut dibuatkan pula dalam bentuk scenario film/sinetron tahun 1995 yang akan diproduksi TPI, namun tidak berlanjut disebabkan keterbatasan dana waktu itu.

Soal peningkatan kapasitas pengelolaan lembaga kesenian, almarhum pernah mengikuti Pelatihan Manajemen Seni Pertunjukan oleh Departemen Pariwisata dan Seni Budaya di Jakarta tahun 1998 dan masuk 10 besar. Sedangkan pertunjukan di Kota Palu tak terhitung dan sering menjadi pembicara dalam diskusi soal teater di Kota Palu yang kini tinggal kenangan manis.

Selamat jalan  sang penyair “To Lare”, Hidayat Lembang. Insya Allah, jasamu akan menjadi rahmat di sisi-nya seperti yang engkau rindukan dalam bait puisimu Atas Nama; Aku sebut namaMu/ Dalam syalawatku/Dalam zikir dan tasbihku,  Ya …. Allah/ Kaulah pejaga/Hidup dan matiku (1997).


(Jamrin Abubakar: Seorang pemerhati seni dan budaya di Kota Palu)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar